Bab 5: Awal Kekacauan

229 23 7
                                    

Sepertinya, Rangga benar-benar terpukau dengan penampilan 'DJ Morphine' semalam. Pasalnya, semenjak istirahat tadi sampai bel pulang sekolah Rangga tidak berhenti menyebutkan nama itu. Dimana sialnya membuat Fatir tidak nyaman sebab ketika nama itu disebut, Annisa yang berada di seberangnya menatapnya tajam.


"Sumpah, kayanya gue fall in love sama itu DJ, deh. Misterius banget dia, bikin penasaran." ujar Rangga, berjalan beriringan bersama Fatir dan Januari keluar kelas karena seluruh pelajaran hari ini sudah berakhir.

"Namanya Morphine, sejenis narkotika yang bisa bikin kecanduan. Pas banget, gue juga udah kecanduan!" oceh Rangga lagi.

Tiba-tiba saja Fatir merasakan seseorang menubruk bahunya. Lantas Ia menoleh, mendapati sebuah tulisan dengan bacaan,

"I WILL KILL YOU!"

Ditulis dengan spidol merah dan semua huruf kapital. Dan Annisa-lah, orang yang ada di balik tulisan itu. Gadis itu menatapnya tajam sebelum akhirnya menubruk bahunya dan berjalan cepat keluar pintu.

Fatir menaikan satu alisnya ke atas. Terkekeh kecil dengan tingkah kekanak-kanakan Annisa. Membuatnya jadi penasaran, kenapa gadis itu merahasiakan tentang DJ Morphine?

"Allahu!" Rangga memekik dan mendadak berhenti berjalan tepat di depan pintu, membloking jalan Fatir dan Januari yang mau tidak mau juga berhenti.

"Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan terkutuk." kata Rangga saat melihat Megan yang berdiri di samping pintu. "Ri, ayo kita duluan. Fatir tetep di sini karena lo pawangnya."

Setelah mengatakan itu, Rangga lekas menarik tas Januari dan pergi meninggalkan Fatir yang kini berhadapan dengan Megan yang bersidekap, menatapnya tajam.

"Bagus." kata Megan sambil tertawa. Setelahnya, gadis itu melangkah pergi. Fatir mendesah, mengejar langkah cepat Megan yang terlihat marah. Fatir sangat menyadari apa kesalahannya kali ini.

Pertama, Ia mengingkari janji untuk menemui Megan setelah pemeriksaan Amelia. Kedua, Fatir menolak semua panggilan dari Megan dan juga tidak menjawab satu pun pesan dari gadis itu. Dan yang ketiga, Fatir hilang dua hari tanpa kabar.

"Kemarin aku bener-bener butuh waktu sendiri." kata Fatir, berusaha menghentikan Megan yang selalu menepis keras tangannya. Megan tidak berkata apapun, namun raut wajah gadis itu menjelaskan bahwa Megan benar-benar marah kali ini.

"Meg, dengerin dulu."

"Lo, tuh emang brengsek!" Megan memaki, terus berjalan keluar gerbang sekolah dengan Fatir yang berusaha mengejar. Sesekali laki-laki itu mendesah frustasi.

"Meg, plis." kata Fatir, terus mencoba meredam emosi Megan.

Di luar entah sejak kapan hujan turun deras. Namun seperti tidak peduli, Megan tetap berjalan menembus hujan bersama Fatir yang terus mengekor sampai di depan gerbang sekolah. Sampai akhirnya Megan berhenti melangkah, berhenti tak jauh dari halte samping sekolah.

"Kemana aja lo?" tanya Megan, tangannya dilipat di dada. "Gue telpon kenapa nggak diangkat, pesan gue kenapa gak dibales?" suara Megan kini meninggi. Fatir sudah tahu betul bagaimana tabiat Megan ketika sedang marah. Marah Megan layaknya api yang melahap sekitarnya.

"Brengsek lo!" Megan mendorong bahu Fatir yang sama sekali tidak gentar. Bahu laki-laki itu cukup kuat untuk menahan dorongan Megan barusan.

"Ya udah, aku minta maaf." kata Fatir, menggigit bibirnya menandakan Ia sungguh menyesal.

MorphineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang