BAB 15: Nahkoda yang Pergi

194 18 6
                                    

"Gue duluan, ya."

Annisa mengangguk mendapati Myla yang berjalan menjauh melambaikan tangan ke arahnya menuju ojek online yang ia pesan. Sedangkan Juni, gadis itu masih betah di ruang seni. Melukis, katanya. Padahal Annisa tahu itu hanya alasan saja. Sebenarnya Juni hanya ingin melihat Januari dan 'dada bidang berkeringat' laki-laki itu yang sedang ekskul futsal sore ini.

"Hati-hati, Myl." pekik Annisa sesaat Myla duduk di atas jok motor. Gadis itu tersenyum dan melambaikan tangan lagi. Disusul motor yang melaju membawa Myla menjauh di telan tikungan.

Annisa masih berdiri di depan gerbang. Ia hanya perlu jalan enam meter menuju halte di sebelah kanan gedung sekolah. Ia menghela napas. Kesendirian selalu ia manfaatkan untuk bergelut dengan musik. Mulailah ia sumpal telinganya dengan headset dan membuka platform musik. Menggema satu lagu rock yang berisik di telinganya.

Annisa itu jenis orang yang menikmati musik genre apa saja. Sejenis pemusik sejati. Alasan terkuat ia mendengarkan lagu rock sore-sore begini sejujurnya sih, hanya tidak ingin mendengar desas-desus orang-orang tentangnya yang acap kali ia dengar. Masalahnya, Annisa ini sumbunya pendek. Dipancing sedikit bisa langsung meledak.

Kaki gadis itu mulai terayun melangkah. Dengan dua tangan yang dimasukan ke dalam saku jaket kulit cokelat yang kini ia kenakan, cuek berjalan sembari menatap lurus ke depan melewati gerbang dan mengabaikan tatapan aneh sebagian orang. Jujur saja, dampak kejadian itu sangat luar biasa bahkan setelah sebulan berlalu.

Saking seriusnya jalan dengan tatapan lurus, ia sampai lupa dengan jalan rusak yang tidak juga diperbaiki. Hal yang tidak diinginkan pun akhirnya terjadi. Annisa kesandung. Tubuhnya bergerak maju bersiap menyentuh tanah kalau saja sebuah tidak memeluk bahunya dari belakang.

Dengan cepat tangan itu membuat Annisa berdiri. Ia mengerjap beberapa kali, bersyukur dewi fortuna masih ada bersamanya.

"Masih untung, kan wajah lo nggak nyium aspal." ujar Fatir. Iya, laki-laki yang menahan tubuhnya adalah Fatir.

Annisa menghela napas, "Thanks." jawabnya singkat.

Tangan Fatir lalu bergerak masuk ke dalam sakunya, membuat Annisa sebentar terkejut. Lalu terganti dengan kerutan di dahinya karena Fatir mengambil ponselnya yang tertancap headset itu.

"Bring Me the Horizon?" tanyanya, melihat ke arah Annisa dan memasukan ponsel gadis itu kembali ke dalam saku. Annisa mengangguk pelan. Jadi tadi yang Fatir lakukan adalah melihat lagu dari band apa yang Annisa dengar sekarang.

"Kenapa?" tanya Annisa. Matanya terangkat naik karena Fatir lebih tinggi darinya dan untuk melihat senyum yang kini menghiasi wajah Fatir.

Fatir menggeleng, "Gapapa."

Annisa mengangguk pelan, baru saja ingin bilang, "Ya udah, gue cabut.", tapi suara Raka dan deru mesin motor tiba-tiba saja terdengar.

"Sa!" sapa Raka, disusul dengan Raka yang menghentikan vespa matic-nya di samping Annisa. "Pulang bareng, yuk." ajak Raka, selanjutnya Annisa melihat Raka yang melirik Fatir.

"Eh, Tir. Apa kabar lo? Udah lama kita gak futsal bareng." kali ini sapaan Raka tertuju pada Fatir yang tersenyum kecil tanpa menjawab kalimat Raka.

Sejenak Annisa melirik ke arah Fatir yang sedang melihat ke arah Raka intens. Entah apa yang sedang dilakukan laki-laki itu.

"Gimana, Sa?" Raka bertanya lagi. "Annisa gue pinjem boleh, kan, bro?"

Terlihat Fatir yang berhenti menatap Raka, beralih melihat ke arah Annisa. Laki-laki itu mengangguk pelan. Barulah setelah itu Annisa mengangguk.

MorphineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang