Bab 2: Gara-Gara Kambing

350 24 4
                                    

"Pinjem buku sejarah, dong. Gue belom ngerjain, nih."

Ujar Annisa seperti kebakaran jenggot. Gadis itu melempar ranselnya ke atas meja kemudian dengan cepat mengeluarkan buku tulis sejarahnya. Sementara dua sahabat baiknya, Juni dan Myla, seperti sudah terbiasa dan mengeluarkan buku tugas sejarah mereka lalu meletakannya di meja Annisa.

Sebelum itu, gadis ini mengedarkan pandangan ke penjuru kelas, lalu berhenti tepat di tempat duduk Fatir. Laki-laki itu ada, sedang duduk, bermain ponsel dengan temannya Rangga yang menelungkupkan wajah ke meja, tidur.
Annisa menghela napas, berharap banyak pada laki-laki itu perihal semalam.

Kalau sampe tuh cowok ngadu, awas aja!

"Kebiasaan, deh. Emangnya semalem lo masih harus nyabutin rumput tetangga?" tanya Myla.

"Nggak, semalem gue ngasih makan kambing." jawab Annisa asal sembari menggigit bibir.

Omong-omong, kedua sahabatnya ini tidak tahu ia bekerja sebagai disjoki. Sebenarnya itu bukan pekerjaan, sih melainkan hobi bermusik yang Ia salurkan lewat Nge-Dj. Lagipula, hobi Annisa itu menghasilkan uang. Sekali manggung ia bisa dapat penghasilan yang lumayan.

"Hah, siapa coba yang melihara kambing di Ibukota?" tanya Juni logis. Annisa menghela napas, masih terus menulis dengan kecepatan kilat.

"Tetangga gue, Pak Utang. Makanya kemarin gue dimintain tolong buat nyabutin rumput, itu buat ngasih makan si Candra."

"Candra?" tanya Juni dan Myla bersamaan.

"Kambingnya Pak Utang." kata Annisa, lantas Juni dan Myla mengangguk kompak.

Sebenarnya tentang semua ini hanya alibi Annisa saja. Hampir seminggu ini ia tidak mengerjakan PR karena selalu pulang malam. Alasan paling utama sebenarnya karena ia malas. Dan ketika dua sahabatnya bertanya, Annisa akan beralasan. Dan itulah dua alasannya: mencabut rumput tetangga, dan memberi makan Candra alias kambingnya Pak Utang. Nggak logis, sih kalau dipikir-pikir. Tetapi, ya itu satu-satunya pilihan. Setidaknya Juni dan Myla percaya.

Annisa belum siap mendengar respon teman-temannya saat tahu kalau Ia seorang disjoki di sebuah kelab malam. Dunia malam dan minuman keras di kelab adalah hal biasa. Dan stereotip masyarakat untuk anak perempuan yang keluar untuk ke kelab—walaupun belum tentu mabuk atau melakukan sesuatu yang buruk—mereka akan berpikir kalau Annisa itu gadis yang nakal.

Cukup keluarganya saja yang mengatakan itu, jangan ditambah dua sahabat baiknya lagi.

Sekarang, PR-nya adalah ia harus membungkam Fatir. Ia harus memastikan kalau laki-laki itu tidak akan berkoar tentang dirinya. Tapi gimana?
Fatir saja sulit diajak kompromi!

Dapat Annisa dengar derit kursi dari arah belakang. Terlihat punggung Fatir yang berjalan keluar pintu kelas. Annisa pikir, mereka harus bicara.

***

Fatir berjalan menelusuri koridor sekolah, menuju deretan kelas 12. Tangannya membawa sebotol air mineral dan sebungkus roti cokelat pesanan Megan. Setelah tadi di kelas Ia menerima pesan dari Megan yang katanya minta dibelikan air mineral dan roti, Fatir langsung ngacir ke kantin.

Drrt, drrt, drrt.

Getar singkat pada ponselnya membuatnya berhenti, mengeluarkan ponselnya dari dalam saku, membaca satu pesan dari Megan.

From: Megan
"Beliin donat  juga, ya."

From: Megan
"Oh ya, aku mau es krim."

MorphineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang