"Ini ayam goreng punya saya! Kamu, kan, tadi udah dikasih. Ini jatah saya."
Lala menatap wajah bersungut-sungut di depannya itu yang sedang mengacungkan sepotong paha ayam di depan mata. Ia dan laki-laki itu hanya dibatasi oleh meja berukuram sedang yang difungsikan sebagai tempat penyajian hidangan untuk makan siang.
Gadis bermata biru itu tak mengerti, kenapa laki-laki di hadapannya selalu menampilkan wajah menyeramkan jika melihat ke arahnya. Namun, akan berubah tidak seram lagi jika sedang bermain bersama teman-teman barunya yang lebih pendek darinya di rumah sebelah. Ia menyebutnya Ungcil, Ungcilcil, dan Ungcilcilcil. Untuk yang terakhir, Lala jarang menyebutnya karena terlalu panjang.
Ungcil, ung adalah bahasanya, sedangkan cil, karena ia sering mendengar kata yang terdengar seperti itu. Acil? Ucil? Kecil? Entahlah, pokoknya mirip itu.
"Apa liat-liat saya?! Udah cepet makan. Abis ini kamu bantu saya beresin meja makan, terus nanti saya bakal kasih pisang."
Air muka Lala tentu saja langsung berubah cerah. Ia memang tidak sepenuhnya mengerti apa tengah dibicarakan oleh laki-laki seram itu, tetapi sangat paham akan kalimat terakhir tadi.
Pisang. Makanan favoritnya tentu saja.
Setelah mendapat instruksi itu, Lala segera melahap makanannya. Gadis itu kini sudah dapat duduk di kursi makan dengan tenang, dan menggunakan sendok meski tetap lebih sering makan memakai tangannya sendiri.
Melihat hal itu, Damar tak tahan untuk tidak berdecak. Ia meletakkan sendok yang dipegangnya di sisi piring, lalu memperhatikan Lala dengan ringisan di wajahnya
"Makannya jangan buru-buru juga. Nanti kamu bisa terse--"
"Uhuk! Uhuk!"
Nah, 'kan?
Belum kering ludah di bibir Damar, ucapannya langsung bisa menjadi kenyataan.
Laki-laki berusia tiga puluh tahun itu lantas berdiri, lalu menyambar gelas dan langsung memberikannya kepada Lala setelah diisi air sebelumnya. Meski menyebalkan, ia tetap tak tega melihat wajah putih gadis itu yang memerah karena menahan sakit.
"Uuuung!" ucap Lala lirih. Wajahnya memelas saat menatap Damar. Mata birunya tampak berkaca-kaca menahan perih. Membuat laki-laki yang berprofesi sebagai dokter itu segera menahan omelannya yang akan keluar.
"Iya, iya. Saya enggak bakal ngomel lagi. Asal kamu jangan nangis. Berisik!"
"Uuung...."
Damar mengangkat sebelah alisnya, menatap Lala dengan heran saat gadis itu menengadahkan sebelah tangan ke arahnya.
"Apa?" tanya Damar bingung.
Tanpa bersuara, Lala menunjuk beberapa buah yang tertata rapi dalam keranjang di atas meja. Buah-buah itu memang turut disediakan di sana bersama makanan yang berat untuk pencuci mulut.
Pandangan Damar mengikuti arah telunjuk Lala, kemudian ia menghela napas sembari menggeleng-gelengkan kepala. Sudah kuduga akan begini jadinya. Batin laki-laki itu dramatis.
Pada akhirnya, dengan penuh keterpaksaan, Damar pun menyerahkan beberapa buah berwarna kuning itu pada si gadis barbar yang langsung berseri-seri menerimanya.
Dasar!
* * *
"Kamu main dulu sama mereka, ya? Saya mau nyamperin Raka dulu."
Sore ini, Damar berinisiatif untuk mengajak Lala ke rumah tetangga alias rumah adiknya. Mereka yang dimaksud oleh laki-laki itu sudah pasti adalah bocah kembar tiga putra Raka dan Syifa.
Sementara Lala sudah asyik bergabung bersama para keponakannya, Damar pergi meninggalkan ruang keluarga untuk mencari keberadaan sang adik. Ada sesuatu yang harus diurus mengenai kelanjutan penyelidikan gadis bermata biru itu.
Kembali ke ruang keluarga...
Lala bertepuk tangan riang saat melihat Arash sudah mampu berjalan cepat menggunakan kaki-kaki kecilnya tanpa terjatuh di atas lantai yang dilapisi karpet beludru berwarna merah marun itu.
Bocah gembil yang paling sulung itu, selain aktif juga memang paling cepat berjalan lancar daripada yang lain.
Berbeda dengan Arash yang lebih senang bermain lari-larian bersama Lala, Aqil tampak serius mencoret-coret tembok-- yang memang dikhususkan untuknya-- dengan krayon warna kuning.
Hanya si bungsu Ariz saja tidak ada. Bocah itu pasti tengah bersama ibunya. Ariz memang paling manja dibandingkan yang lainnya.
"Uuung!"
Arash berhenti menggerakkan kaki. Ia terlihat lelah, dan memutuskan untuk duduk di dekat Lala.
"Kak Lala, ung ung teyus!"
Sebutan Kak Lala diajarkan oleh Syifa untuk menggantikan kata 'culi culi pisang' yang sering diucapkan oleh Arash.
"Qil!" panggil bocah itu pada kembarannya. Lagaknya sudah macam seperti orang dewasa saja. Pantas Syifa atau pun Raka suka geleng-geleng kepala melihat kelakuan si putra sulung.
Yang dipanggil hanya menoleh sekilas, lalu kembali melanjutkan kegiatannya.
Hal itu tentu saja membuat Arash berdecak kesal. "Kata Bunbun, kalau dipanggil tuh ha--"
"Kenapa, Kak?" Akhirnya Aqil menjawab meski dengan nada datar.
"Ajalin Kak Lala ngomong kaya kita, yuk!" ajaknya antusias.
Aqil hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu pergi begitu saja meninggalkan Arash yang kesal dan Lala yang ikut geleng-geleng kepala.
"Kak Lala napa ikut geleng pala?" tanya Arash sedikit ketus. Mungkin masih kesal karena kelakuan sang adik kedua.
"Ung! Ung! Ung!"
Arash tak menanggapi lagi, ia tiba-tiba berdiri dan berjalan menuju keluar ruangan yang tadi ditempatinya.
Lala yang tak mengerti apa-apa akhirnya hanya bisa mengikuti tanpa berkata-kata lagi. Kali ini gadis itu sudah terbiasa berjalan menggunakan dua kakinya karena selalu diajarkan oleh Damar atau pun Syifa. Atau juga Lala belajar sendiri dengan cara melihat Arash.
Dua menit kemudian, ternyata Arash membawanya ke arah halaman depan. Pintu tidak ditutup sehingga bocah gembil itu bisa dengan mudah keluar rumah.
Putra sulung Raka dan Syifa memang sangat gampang penasaran. Udara yang tadinya cerah mendadak mendung, dan awan-awan mulai mengeluarkan air ke bumi. Hal itu membuat Arash penasaran. Ingin mencoba bagaimana rasanya air yang jatuh dari langit karena Bunbun-nya selalu saja melarang.
Celakanya, gerbang juga belum ditutup sehingga Arash dengan mudah dapat lolos dari pintu raksasa tersebut. Lala yang mengikutinya dari belakang, lantas segera mempercepat langkah, tak menyangka kaki se-kecil itu bisa membawa tubuh yang juga mungil cepat jauh meninggalkannya.
Suara deru motor yang memekakkan telinga terdengar di antara gerimis-gerimis kecil. Lala berlari dengan cepat ketika radarnya dipenuhi oleh kewaspadaan.
Sampai di sana, gadis bermata biru itu segera menyambar tubuh mungil Arash yang bajunya sudah mulai basah. Menggantikan posisi si bocah gembil dengan posisinya.
Lala berteriak dengan kencang, bersamaan dengan itu, sebuah motor melaju kencang dan langsung menyambar tubuhnya. Gadis itu terpental beberapa meter dari gerbang rumah milik putra kedua keluarga Sadewa tersebut dengan darah yang mengalir di sekitar wajah.
Sang pelaku langsung tancap gas setelah itu. Dibarengi suara tangisan Arash yang sangat kencang mengalahkan suara hujan yang juga semakin deras.
* * *
Omooo ... omooo ... 😫😫😫
Lala gimana, nih?!
KAMU SEDANG MEMBACA
My Zettyra! [Terbit!]
Ficção GeralBismillah, My Zettyra Open PO. Untuk pemesanan hubungi nomor yang tertera di banner, ya. Terima kasih. 💚 Ada tambahan bab di dalam versi cetak. So, jangan sampai kelewatan kisah Kak Damar sama Lala, yaaa.