Kedua tangan Damar begitu cekatan memindahkan bubur ke dalam mangkuk, mengisi gelas dengan air putih, dan menyiapkan beberapa obat yang harus dikonsumsi oleh Lala.
Setelah semuanya telah siap di atas nampan, laki-laki itu segera membawanya ke kamar, tempat di mana Lala berada.
Keadaan gadis berambut pirang itu sudah lebih membaik sehingga kemarin diizinkan pulang dari rumah sakit. Damar yang merasa bertanggung jawab atas kecelakaan tersebut, langsung mengambil cutinya lebih awal untuk mengurus Lala.
Menggunakan salah satu kakinya, laki-laki yang memakai kaus biru lengan pendek dipadu dengan celana selutut berwarna cokelat itu membuka pintu kamar yang ditempati si gadis barbar.
Sesampainya di dalam, Damar tak bisa menahan decakannya melihat Lala saat sedang tidur. Benar-benar berantakan!
Wajah bulenya sudah tertutup oleh rambut pirangnya sendiri. Posisi sudah menyamping dengan kedua kaki yang menggantung di sisi ranjang hampir menyentuh lantai. Belum lagi dengan sweater ungu yang sedikit tersingkap memperlihatkan setengah perut mulusnya.
Damar lantas memejamkan mata. Pipinya tiba-tiba menghangat saat melihat pemandangan yang terakhir.
Mendekati Lala dengan langkah pelan, laki-laki itu meletakkan nampan berisi sarapan dan obat-obatan di atas meja kecil di sisi ranjang.
Setelahnya berjalan menuju gadis berambut pirang itu, dan dengan mata tertutup, ia cepat-cepat menurunkan sweater Lala agar menutupi auratnya.
"Duuh... emang dasar barbar. Lagi sakit pun masih sempet-sempetnya bikin ulah!" gerutu Damar pelan.
Setelah posisi Lala sudah normal kembali, Damar menepuk-nepuk pelan pipi gadis itu.
"Zettyra, bangun! Hei... bangun!" serunya.
Gadis itu menggeliat pelan, menggerak-gerakkan kelopak matanya, dan akhirnya terbangun dengan wajah linglung.
"Uuung...," ucapnya lemas sembari meregangkan tubuh.
Mengambil posisi duduk, Lala kemudian mengucek-ngucek matanya yang masih terasa buram. Kepalanya lantas tertoleh ke samping, dan mendapati si laki-laki yang tengah menatapnya.
Akhirnya mereka malah saking bertatapan, dan baru terputus saat Lala mengaduh dengan kedua tangan memegangi kepalanya yang baru melepas perban itu.
Damar menjadi panik, ia segera mendekati gadis bermata biru itu, dan segera menenangkannya.
"Makanya jangan bergerak tiba-tiba gitu. Perbannya emang udah dilepas, tapi kamu harus tetep hati-hati. Paham?" tanya Damar setelah Lala diam.
"Ung!"
Damar langsung menggeleng tegas. "Bukan ung, coba bilang pa...ham," ulangnya lagi.
"Pung--"
"Jangan ada ung-nya!"
Lala mengerucutkan bibir kesal karena terus disalahkan.
"Hei, enggak boleh marah. Nih, saya bawa makanan baru buat kamu. Kalau berhasil bilang kata 'paham' nanti saya kasih bonus pisang juga," rayu Damar.
Wajah cemberut gadis itu seketika berubah cerah. Sudah senang tak tertolong jika mendengar kata 'pisang'.
Perubahan itu membuat Damar tidak tahan untuk tidak mencibir. Baru tahu ada perempuan yang begitu suka dengan buah berwarna kuning itu. Seperti mo-- ah maksudnya minion.
"Ayo, coba lagi," pinta Damar setelah beberapa saat.
"Ung?"
Damar berdecak, lalu mulai menuntun gadis bermata biru itu agar mengikuti ucapannya.
"Pa..."
"A?" ucap Lala.
"Tambahin 'P'. Bibir atas sama bawah disatuin," koreksi Damar.
"Pa?"
Damar menjentikkan jarinya. "Nah! Oke, lanjut! Sekarang coba bilang 'ham',"
"Am..."
Laki-laki itu menggeleng. "Bukan am, tapi ham. Tambahin huruf 'H'-nya. Sama kaya kamu kalau lagi nyemburin napas, hah... hah... hah...!"
Lala menatap Damar dengan mata birunya yang bulat. Seulas senyum geli tampak di bibir tipisnya yang pucat itu.
"Jangan ketawa! Ikutin yang tadi!" sergah Damar galak. Menutupi rasa malunya karena tanpa sadar telah bersikap konyol di depan si gadis barbar.
Gadis yang memakai sweater ungu itu cepat mengangguk, lalu berucap, "Am.. Hah... hah... hah..."
Damar menepuk jidatnya. "Ham!"
"Ha...m?"
"Nah! Sekarang satuin, Pa... ham. Paham!"
"Paham?"
Laki-laki berkaus biru itu langsung mengusap wajahnya dengan lega sembari mengucap syukur. Tangan kekarnya terjulur, dan tanpa diminta mengusap rambut pirang di depannya itu.
Hal itu membuat Lala tertegun. Ia menatap laki-laki yang sering menunjukkan wajah galak itu tanpa berkedip. Tak peduli meski setelahnya harus merasa pegal karena tinggi yang tak setara membuat ia harus mendongakkan kepala.
Usapan itu... terasa amat nyaman.
Sadar dengan sikapnya yang tak biasa, Damar segera menarik tangannya kembali. Kemudian berdehem untuk menetralisir rasa malunya, dan mengalihkan pembicaraan sembari mengambil mangkuk berisi bubur untuk diberikan pada Lala.
* * *
Maaf, segini dulu, yaaa🙈
Nanti sore insya Allah aku lanjutin ke-uwu-an mereka😎
Ini Damar sudah mulai ada rasa, yaaa. Hihiww!
KAMU SEDANG MEMBACA
My Zettyra! [Terbit!]
Narrativa generaleBismillah, My Zettyra Open PO. Untuk pemesanan hubungi nomor yang tertera di banner, ya. Terima kasih. 💚 Ada tambahan bab di dalam versi cetak. So, jangan sampai kelewatan kisah Kak Damar sama Lala, yaaa.