T U J U H B E L A S

2.4K 224 15
                                    

"Selama saya kerja, pokoknya kamu enggak boleh ke mana-mana!"

"Ung!"

"Jawab yang bener, Zettyra."

"Ya!"

"Bagus. Kamu juga enggak boleh pergi bareng si Alan itu."

"Yayaya."

"Kok kayaknya kamu lagi ngeledek saya, sih?"

"Ung?"

Damar pun hanya bisa menepuk keningnya frustrasi. "Udahlah, lupain aja. Pokoknya kamu harus inget pesan saya tadi, ya?" ulangnya sekali lagi.

"Siyap!"

Damar tersenyum puas. Lala memang sudah mulai diajarkan untuk dapat berbicara selayaknya bahasa manusia. Dan memang, kosakatanya sudah mulai mengalami kemajuan dari hari ke hari.

"Sini kamu!" pinta laki-laki itu sebelum benar-benar berangkat.

"A-apa?" tanya Lala bingung.

Damar tak langsung menjawab. Ia berdehem sejenak, lalu melarikan pandangannya yang sejak tadi menatap Lala, menjadi ke arah lain.

"Ka-kamu mau diusap kepalanya enggak? Saya cuma nawarin, lho. Kalau kamu nolak, y-ya, enggak masalah. Tapi kesempatan ini cuma sekali. Jadi, kalau kamu nolak nanti sa--"

Kata-kata bernada gugup yang terus diucapkan berulang-ulang itu, akhirnya terputus tatkala Lala menundukkan kepalanya ke hadapan Damar.

"Ini usapan karena kamu udah mau dengerin saya, ya. Jangan geer! Jangan baper juga. Saya enggak punya perasaan apa-apa sama kamu."

Setelah berkata seperti itu, Damar berdehem lagi. Tangan kokohnya kemudian terangkat mengusap puncak kepala Lala dengan lembut. Namun, ia melakukannya dengan wajah yang menghadap ke arah lain. Tak ingin ketahuan jika pipinya sudah berubah merah muda.

* * *

Lala celingukan. Rumah besar itu terasa sangat sepi karena sang pemilik sedang tak ada. Ia tidak tahu laki-laki yang terkadang baik terkadang galak itu perginya ke mana karena sering sekali keluar.

Sempat berniat pergi ke rumah sebelah untuk bermain bersama triplets, tetapi lekas diurungkan karena teringat pesan tadi pagi.

Gadis itu menyandarkan tubuh pada kursi yang didudukinya. Hanya suara detik jam memenuhi ruang tengah saking sepinya. Ia kemudian menghentak napas keras-keras.

Sungguh bosan sekali.

Mengubah posisi dari duduk bersandar menjadi telentang, kedua mata Lala langsung terarah pada jam dinding. Posisi benda berbentuk bulat itu tepat berada di atasnya.

Kedua mata biru itu menatap lekat sesuatu berukuran panjang yang bergerak teratur di dalam benda pengukur waktu tersebut. Kepalanya kemudian ikut bergerak seiring dengan perpindahan jarum jam.

Meoong ....

Lala langsung bereaksi ketika mendengar suara barusan. Ia lekas mengangkat tubuhnya, lalu beranjak dari ruang ruang untuk berjalan mengikuti arah mengeong itu.

Meoong ....

Sampai di depan pintu, Lala berhenti. Gadis itu ragu antara harus membukanya atau tidak karena Damar berpesan bahwa dirinya tidak boleh pergi ke mana-mana.

Namun, tangannya tak tahan lagi meraih gagang pintu tatkala suara itu kembali terdengar dari luar sana.

Setelah kakinya berhasil menginjak lantai depan rumah, Lala segera melakukan pencarian. Kepalanya menoleh ke sana ke mari, dan tak perlu menunggu waktu lama, ia menemukannya di atas pohon dekat gerbang.

Kedua matanya lekas membulat mendapati seekor hewan mirip si belang, tetapi dengan ukuran yang lebih kecil.

"Langlang!" pekik Lala senang.

Kaki-kaki yang tanpa alas itu berjalan cepat ke halaman rumah. Sampai di bawah pohon, ia segera memanjat tumbuhan tersebut dengan lincah. Tentu saja ini adalah pekerjaan yang mudah mengingat gaya hidupnya dulu memang seperti itu.

"Langlang?" gumamnya lagi dengan nada sendu. Kemudian, ia segera membawa hewan berbulu oranye dan putih itu ke dalam pelukan eratnya.

Meskipun si belang asli berwarna oranye, hitam dan putih, tetapi yang didekapnya sekarang sama-sama memberikan rasa nyaman.

Kedua mata Lala memejam, menikmati situasi saat ini. Beruntung dahan yang ditempatinya cukup kokoh, dan posisinya dekat tembok sehingga ia bisa menyandarkan punggung.

Semilir angin sepoi-sepoi, membuat gadis bermata biru itu makin enggan membuka mata. Ditambah hewan berkaki empat yang ada di pelukannya juga sudah merasa nyaman.

Pagi terus beranjak siang, dan Lala menghabiskannya dengan tidur bersama si belang versi baru.

* * *

Lala terperanjat saat hari terlihat sudah menggelap. Si belang yang sejak tadi ada di pelukannya juga sudah tak ada.

Setelah mengerjapkan mata beberapa kali untuk menyesuaikan diri, gadis itu lekas melompat turun dengan mudah. Kemudian, berjalan menuju rumah sembari sesekali menguap.

"Dari mana aja kamu?"

Langkah Lala langsung berhenti mendengar suara bernada dingin itu. Ia mengangkat kepala yang sejak tadi menunduk melihat jalanan, dan mendapati Damar dengan ekspresi datar.

Lala sangat tahu sekali apa arti dari air muka itu. Ketakutan mulai merambati dirinya. Laki-laki yang terkadang galak dan terkadang baik itu memang sering marah, tetapi baru kali ini ia melihat ekspresi seseram sekarang.

"Kenapa kamu diem aja? Jawab, Zettyra!"

Gadis itu tersentak, dan refleks memundurkan langkah. Suara bentakan tadi membuat memori-memori buruk dalam kepalanya kembali aktif.

Bayangan itu muncul lagi. Bagaimana setiap hari ia akan diperintah dengan suara keras, bersamaan terayunnya  cambuk mengenai punggung.

"Uung!" teriaknya pilu. Ia memegang kepalanya kuat-kuat, sembari menatap laki-laki di depannya dengan sorot ketakutan yang kentara. Belum lagi, air mata meluncur deras dari kedua pipinya.

Damar seketika terhenyak melihat pemandangan itu. Ekspresinya melunak, tergantikan oleh kekhawatiran. Sebagai dokter, ia jelas tahu jika gadis lugu di hadapannya tersebut mengalami trauma akan sesuatu.

"Ze-Zettyra ...." Damar tidak dapat meneruskan perkataannya lagi ketika Lala tiba-tiba berbalik, lalu berlari kencang menuju gerbang.

Tak ingin sesuatu yang buruk sampai terjadi lagi seperti beberapa waktu lalu, laki-laki itu lekas menyusul. Ia cukup kepayahan karena kemampuan Lala dalam berlari benar-benar luar biasa.

"Zettyra, tunggu!"

Tidak digubris. Namun, Damar pantang menyerah.

Suara gerbang yang dibuka dan ditutup secara paksa menghasilkan bunyi gaduh. Lala sudah hilang di balik pintu raksasa itu.

Gerbang kembali dibuka oleh Damar dengan cara yang lebih manusiawi. Kaki-kakinya terus melaju agar tidak kehilangan jejak Lala.

Dan, laki-laki itu baru berhenti di depan pintu gerbang rumah adiknya yang terbuka setengah. Di sana, ia melihat Lala sedang dipeluk oleh Syifa.

Menghela napas lega, Damar memutuskan untuk kembali lagi ke rumah. Biarlah Lala ditenangkan dulu oleh adik iparnya. Setelahnya, ia akan berusaha keras untuk mendapatkan maaf dari gadis lugu itu.

"Maafin saya ...."

* * *

Hayoloh, Mar 😣





My Zettyra! [Terbit!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang