[Kak Damar, Lala pengen balik lagi ke situ katanya. Tapi Kak Damar jangan sekali-sekali bentak dia lagi, ya? Ternyata ada masalah serius juga. Aku tahu dari Alan. Nanti kita bicarain masalah ini. Bye.]
Laki-laki yang baru saja menerima pesan dari adiknya itu mendengkus kecil. Namun, tetap mengetikkan balasan.
[Salam dulu, Raka.]
Kirim!
Tak lama kemudian, jawaban dari seberang sana datang dengan cepat.
[O, iya. Lupa, Kak. Maaf.]
[Mana salamnya?]
[Ah, iya. Ini baru mau ngetik.]
[😪]
[Assalamu'alaikum, Kak Damar. Kakakku yang paling ganteng tapi gengsian. Belom nikah juga, eh.]
[RAKA SADEWA ANAKNYA BAPAK ARDI SADEWA!]
[Ups ... 🙊]
Saat itu juga, Damar langsung melemparkan ponselnya ke atas ranjang tanpa membalas pesan dari Raka. Entah kenapa mood-nya akhir-akhir ini seperti anak kecil, gampang tersinggung. Namun meski begitu, ia tetap memikirkan isi tulisan tadi dengan serius.
Masalah apa yang perlu dibicarakan? Apa ... tentang trauma itu?
Hatinya seketika dilanda gelisah. Padahal ia harus lekas mandi dan berganti pakaian sepulang dari rumah sakit. Tetapi sedikit tertunda karena mendapatkan pesan dari Raka saat ia baru tiba di kamar pribadinya.
Eh, tunggu dulu!
Seperti ada yang dilupakannya, Damar lekas mengambil ponselnya lagi, dan kembali membaca pesan tadi. Dan, kedua matanya tak bisa untuk tidak membulat ketika menyadari ada tulisan 'Lala pengen balik'.
Laki-laki itu terdiam sebentar, dengan kata-kata tadi yang terus-terus ia ulang dalam hati.
Lala pengen balik ...
Lala pengen balik ...
Lala pengen bal ... Masya Allah! Mau ke sini?!
Damar lekas berdiri tegak. Ia mengacak-acak rambutnya yang sudah sedikit memanjang dengan ke-sepuluh jari. Merasa frustrasi karena otak cerdasnya yang dulu bisa digunakan hingga membuat ia lulus ujian masuk kedokteran dengan nilai sempurna, tidak berguna pada saat-saat seperti ini.
***
Damar melangkah lagi ke dapur, untuk ke-sekian kalinya setelah beberapa menit sudah mendatangi ruangan itu.
Ia kemudian mengecek kulkas, dan tanpa sadar menghela napas lega melihat buah-buahan di dalam sana masih utuh. Terutama buah pisang. Hal yang dilakukannya berulang-ulang juga.
Memeriksa buah.
Damar tahu, tidak akan ada yang berkurang karena memang tidak ada yang mengambilnya. Memang siapa pelakunya? Di rumah sebesar itu hanya ada ia seorang saja karena satu orang lagi sedang proses menuju ke sini.
Tetapi, entah kenapa ia merasa perlu melakukan hal sia-sia seperti itu. Mungkin karena perasaan rindunya?
Apa? Rindu?!
Kepala dengan rambut berwarna hitam legam itu lekas menggeleng cepat-cepat. Sebisa mungkin berusaha mengelak meski debaran jantungnya yang tiba-tiba menguat, tak dapat dicegah oleh si empunya.
Pasti ini cuma karena efek enggak ketemu beberapa hari aja!
Masa saya suka sama dia? Enggak mungkinlah! Masih di bawah umur gitu.
Lagian juga, perempuan yang cocok sama saya itu yang dewasa. Kalau kayak Zettiyra mah anggep aja adek.
Terus juga sa--
Suara bel mendadak berbunyi, menyadarkan Damar yang tengah melamun di depan kulkas terbuka.
Yakin bahwa itu adalah orang yang ditunggu-tunggunya, Damar langsung berdiri sambil membanting pintu kulkas agar kembali tertutup. Lantas berjalan tergesa-gesa ke arah depan, melupakan perang batin penyangkalannya terhadap Lala begitu saja.
Sampai di depan pintu, ia berhenti sejenak hanya untuk merapikan pakaian serta rambut. Sudah tentu di balik benda pipih di hadapannya ini ada Lala yang diantar Syifa. Ia yakin karena gerbang memang sengaja tidak dikunci sehingga mereka langsung bisa masuk.
Setelahnya, tangan kekar itu meraih gagang pintu serta menariknya. Dan, senyum yang sejak tadi sudah dipersiapkan, benar-benar menghilang tatkala sosok di samping Lala bukanlah adik iparnya. Melainkan ... Alan.
"Kenapa kamu lagi, sih?" tanya Damar sambil bersedekap dada.
"Kenapa?"
"Kenapa apanya? Ngomong jangan setengah-setengah, dong!" Damar jadi sewot terus.
"Kenapa kalau saya lagi?" Alan akhirnya memperjelas ucapannya.
"Bosen," balas kakaknya Raka itu.
"Saya juga."
"Kamu kenapa?"
"Bosen sama Pak Damar."
"Ah, Udah lah!" Laki-laki itu mengibas-ngibaskan tangannya di udara dengan air muka kesal. Tak tahu harus bagaimana lagi menghadapi sekretaris adiknya tersebut. "Sekarang saya tanya, jawab yang bener, ya!" Lanjutnya kemudian. "Kenapa yang nganter Zettyra malah kamu bukannya Syifa?"
"Bapak tidak ingin mempersilakan kami masuk?" Alih-alih menjawab pertanyaan Damar, Alan malah mengajukan hal yang lain.
Namun, meski perasaannya sedang terjun bebas, Damar juga sadar jika dirinya salah karena membiarkan tamu hanya berdiri saja di depan pintu. Ia kemudian melirik Lala, dan langsung mengalihkan matanya lagi tatkala objek yang tadi dilirik tengah menatapnya lekat-lekat.
Tenang, tenang. Jangan deg-degan. Bukan, kok, ini bukan salting.
"Kita tidak masuk?"
Mantra yang sejak tadi diucapkan oleh Damar di dalam hati, seketika buyar karena perkataan Alan barusan.
Laki-laki itu mendengkus kesal, tetapi kemudian memundurkan tubuhnya agar tamu tak diundang tersebut segera masuk.
"Sabar dulu, kek!" gumamnya, setelah dua orang tersebut sudah melewati tubuhnya.
"Pak Damar lama."
Dan, orang yang dimaksud pun hanya bisa melotot tak terima karena perkataan pegawai adiknya itu.
Tahan ... tahan ... jaga image, ada Zettyra.
***
Selamat sore😘
Sampai sekarang, masih seputar Damar, Lala dan Alan, yaaa.
😊😊😊
KAMU SEDANG MEMBACA
My Zettyra! [Terbit!]
Fiction généraleBismillah, My Zettyra Open PO. Untuk pemesanan hubungi nomor yang tertera di banner, ya. Terima kasih. 💚 Ada tambahan bab di dalam versi cetak. So, jangan sampai kelewatan kisah Kak Damar sama Lala, yaaa.