Waktu belum menunjukkan pukul tujuh pagi tepat, tetapi tatapan-tatapan tajam dari adik serta iparnya sudah Damar dapati tatkala tangannya menarik kenop pintu hendak keluar.
Laki-laki itu terinjak di tempat, hampir saja terjungkal ke belakang jika tidak segera menjaga keseimbangan tubuhnya.
"Kalian pada ngapain, sih, di depan pintu? Bukannya masuk. Bikin kaget aja," ucapnya kemudian, seraya mengelus dada.
"Kak Damar kenapa bikin Lala nangis?"
"Kak Damar kalau cemburu bilang, dong. Gentleman!"
Laki-laki yang mendapat serangan secara bersamaan dari kedua orang di hadapannya itu menghela napas frustrasi. Tak cukup dengan semalaman tak bisa tidur sebab rasa bersalah menggelayuti hatinya, kini ditambah oleh kelakuan Raja serta Syifa.
Tak bisakah mereka memberinya waktu untuk bernapas sejenak?
"Iya, saya salah," akunya. "Ini baru minta maaf sama dia."
"Enggak bisa!" Dua-duanya kompak menolak.
Kerutan langsung tercipta di kening pria berusia tiga puluh tahun itu, "Kenapa?" tanyanya dengan nada tak suka.
"Lala lagi dibawa pergi sama Alan buat dihibur. Soalnya dia enggak berhenti nangis dari pas kemarin dateng." Raka yang menjawab, semakin menambah rasa bersalah pada diri Damar.
"Emangnya Lala diapain sama Kak Damar, sih?" Kali ini Syifa yang melontarkan pertanyaan.
Laki-laki itu diam, enggan menjawab. Kentara sekali jika perbuatannya kemarin benar-benar tidak mencerminkan seorang Damar Sadewa.
"Kak?" panggil Syifa lagi.
"Pergi ke mana?" tanya Damar, mengabaikan pertanyaan adik iparnya.
"Yaa, jalan-jalan lah. Ke taman palingan," jawab Raka sewot. Berharap kakaknya lekas peka jika ia sedang kesal, tetapi nihil. Yang disindir malah berlalu begitu saja dengan tergesa-gesa, meninggalkan pasutri itu di depan pintu rumahnya sendiri.
"Eh? Kak Damar mau ke mana itu?" seru Syifa saat posisi kakak iparnya terlihat sudah lumayan jauh.
"Nyari Zettyra!"
Hanya sesingkat itu jawaban yang diberikan Damar, membuat Syifa maupun Raka hanya dapat menghela napas lelah.
***
Kedua mata tajam itu terus menelusuri sekitaran taman hingga sudut-sudutnya. Mencari sosok gadis berambut pirang dan bertubuh mungil. Ia kira akan lebih mudah menemukannya karena warna rambut yang berbeda itu, tetapi sudah lima menit berlalu, dan dirinya masih belum mendapatkan hasil apapun.
"Kamu di mana, sih?" gumam laki-laki itu gusar.
Tempat yang didatanginya saat ini adalah sebuah taman berukuran lumayan luas, terletak di tengah-tengah perumahan Grand Wisata itu, dan banyak didatangi pada pagi hari untuk olahraga, atau sore hari sekedar berkumpul bersama keluarga.
Pohon-pohon rindang berjajar di sepanjang jalan, menjadi tempat berteduh sejenak maupun sampai menggelar tikar. Belum lagi dengan adanya beberapa permainan, membuat anak-anak makin betah berada di taman tersebut.
Hari akan beranjak siang ketika Damar tiba di sana. Tentu saja suasana sepi karena para pengunjung yang berolahraga sudah tidak tampak lagi.
"Jangan-jangan Raka sama Syifa bohong?" gumamnya lagi. Lantas berdecak kesal tatkala menyadari kenyataan itu.
"Udah lah, balik aja. Biar saya kasih pelaja--"
"Pu-pu?"
Tubuhnya yang hendak berbalik, langsung dibatalkan ketika mendengar suara yang sangat dikenalnya itu.
Damar lekas menolehkan kepala serta menajamkan pandangannya, dan merasa amat lega sekaligus berdebar tatkala objek yang sejak tadi dicari kini telah ditemukan.
Langkah-langkah lebarnya langsung menghampiri gadis berambut pirang itu. Semangat orang yang akan dihampiri sedang asyik mengejar seekor kupu-kupu. Tanpa terlihat sekretaris adiknya yang bernama Alan itu.
"Zettyra!"
Seolah-olah telah tahu nama panggilannya, si empunya nama menoleh dengan cepat.
Damar sebisa mungkin memasang senyum meski sangat kaku saat mata mereka bertemu. Namun, raut wajahnya berubah sendu tatkala ekspresi Lala malah menjadi ketakutan.
Ah, ternyata sebesar itu efek bentakannya kemarin.
Laki-laki itu mencoba melangkah maju, lebih mendekat lagi, tetapi Lala justru memundurkan tubuh. Hal tersebut terus diulang beberapa kali sampai ia menghela napas frustrasi.
"Zettiyra, saya ke sini mau minta ma-- kamu ngapain ngalangin saya?" Nada yang dikeluarkan Damar berubah ketus ketika sosok Alam tiba-tiba datang, dan mengambil posisi di depan Lala.
Namun, yang ditanya hanya menatap datar ke arahnya.
"Minggir dulu, saya mau bicara sama Zettyra," ucap Damar lagi.
Alan, orang yang menghalanginya, memberikan respon dengan gelengan kepala saja. Membuat laki-laki berprofesi dokter itu menjadi kesal.
"Takut," ucapnya kemudian.
Kening Damar lantas mengernyit bingung. "Maksudnya? Kamu takut sama siapa?"
"Bukan."
"Bukan apa?"
"Bukan saya. Tapi Lala."
"Dia yang takut?" tunjuk Damar pada gadis di belakang Alan.
"Iya."
"Tapi saya ke sini juga mau minta maaf sama dia."
"Nanti."
"Apa maksudnya nanti?!" Nada bicara Damar jadi lebih tinggi karena rasa kesal mulai mendera. Heran, bagaimana bisa adiknya bertahan dengan sekretaris se-irit Alan dalam berbicara?
"Minta maafnya."
"Kenapa harus nanti?" tanyanya tak suka.
"Takut."
Detik itu juga, Damar memutuskan untuk berhenti berbicara. Ia juga lekas balik badan, lalu berjalan meninggalkan dua orang tersebut di taman. Urusannya tidak akan jadi beres selama manusia datar ada di dekat Lala.
Namun, tenang saja. Ia pasti akan segera beraksi untuk kembali mendekati gadis bermata biru itu.
***
Maaf, yaa. Segini dulu 😢
KAMU SEDANG MEMBACA
My Zettyra! [Terbit!]
Narrativa generaleBismillah, My Zettyra Open PO. Untuk pemesanan hubungi nomor yang tertera di banner, ya. Terima kasih. 💚 Ada tambahan bab di dalam versi cetak. So, jangan sampai kelewatan kisah Kak Damar sama Lala, yaaa.