"Ta-tapi ini salah Syifa, Bang. Co-coba ka-kalau Syifa... kalau Syifa..."
Raka langsung mendekap tubuh istrinya itu agar berhenti berbicara. "Ssstt... udah, ya? Jangan nyalahin diri kamu lagi. Ini emang udah jalan dari Allahnya. Mendingan kita do'a sama-sama biar Lala cepet sadar."
Wanita yang telah menjadi ibu dari tiga anak berwajah sama itu lantas mengangguk meski isakan masih terdengar dari bibir mungilnya.
Ingatan Raka terlempar lagi saat beberapa jam lalu, tangisan Arash yang kencang ketika kecelakaan terjadi membuat semua orang dewasa yang berada di rumah besar Raka berhamburan keluar.
Damar langsung melesat kencang saat melihat ada seseorang yang tergeletak di sisi jalan dengan bersimbah darah. Raka dengan sigap segera mengambil Arash ke dalam gendongannya, dan menyerahkan kepada Syifa untuk dibawa ke dalam karena seluruh tubuh bocah itu telah basah.
Sebenarnya, hal itu Raka lakukan agar Syifa tak melihat tubuh Lala yang terkulai lemah dalam pangkuan kakaknya. Khawatir istrinya itu akan histeris.
Dan hal itu langsung terbukti saat ini, Syifa tak berhenti menangis sambil menyalahkan dirinya sendiri.
Saat ini mereka--Raka dan Syifa-- sedang berada di ruang tunggu gawat darurat, menunggu kabar dari Lala yang sedang ditangani di dalam sana oleh Damar langsung.
Suara ketukan sepatu yang beradu dengan lantai rumah sakit membuat pasangan suami istri tersebut lantas menoleh ke arah sumber suara. Dan mendapati Sinta serta Ardi yang berjalan cepat menuju ke arah keduanya. Raka memang menghubungi orang tuanya tersebut agar segera ke rumah sakit.
"Gimana keadaan Lala?" Sang Mama yang pertama kali bersuara sembari mengambil tempat duduk di sebelah Syifa.
"Masih di dalem, Ma," jawab Raka. Sedangkan Syifa masih menunduk dengan tatapan kosong.
Sinta yang paham dengan kondisi menantunya tersebut, lantas meminta izin untuk membawa Syifa keluar. Dan Raka pun langsung mengizinkannya.
Kini, hanya tinggal dua orang laki-laki dewasa saja di ruangan sepi nan dingin tersebut.
"Kalau Arash bagaimana?" Kali ini Ardi yang bertanya. Laki-laki kharismatik itu masih berada dalam posisi berdiri seperti putranya.
"Alhamdulillah, baik-baik aja, Pa. Hanya demam aja karena kena air hujan tadi. Anak-anak udah aku titipin di rumah sama Alan," terang Raka.
Ardi mengangguk-angguk. "Lalu bagaimana dengan penabraknya?" tanyanya serius.
Raka terdiam sebentar, lalu menjawab, "udah aku laporin ke pihak berwajib, Pa. Sekarang lagi diselidikin. Tapi aku ngerasa ada hal yang janggal di sini. Seolah-olah..."
Laki-laki itu tak melanjutkan perkataannya, tetapi menatap Papanya dengan penuh arti.
Ardi yang ditatap demikian langsung paham. Laki-laki itu mengangguk, lalu menepuk-nepuk bahu putranya dengan pelan seolah-olah ingin memberikan semangat untuk sesuatu yang akan dikerjakan Raka. Entah apa.
"Bagaimana kalau kita sel-- eh, udah ada yang keluar, Pa."
Perkataan Raka tak jadi dilanjutkan saat matanya menangkap gerakan pintu yang dibuka dari dalam, kemudian disusul oleh kemunculan seseorang di ambangnya.
Orang itu sepertinya adalah salah satu suster yang membantu Damar menangani Lala.
"Kenapa, Sus?" Raka bertanya sembari menghampiri wanita tersebut yang tampak sedang terburu-buru.
"Pasien butuh kehilangan banyak darah, Pak. Golongan darah B rhesus negatif saat ini sedang kosong di Bank darah. Adakah di antara Bapak atau keluarga pasien lain yang memiliki golongan darah sama? Kami butuh secepatnya, Pak."
"Baik, Sus. Saya akan segera mencari orang yang darahnya cocok untuk Lala," jawab Raka cepat.
Perempuan itu mengangguk, lalu segera pamit dari hadapan Raka.
Setelah mendengar informasi tersebut, Raka langsung bertindak cepat. Ia mengeluarkan ponsel dan menyebarkan tentang hal ini pada rekan-rekan kerjanya. Ardi pun melakukan hal yang sama.
* * *
Damar masuk ke dalam sebuah ruangan khusus yang dipenuhi oleh peralatan medis. Indra penciumannya seketika dipenuhi oleh bau obat-obatan yang khas.
Ia menatap ke arah ranjang, terlihat sosok yang akhir-akhir ini selalu bisa membuatnya kesal sedang terbaring lemah di sana dengan alat bantu pernapasan serta perban yang membebat kepala.
Laki-laki yang masih memakai pakaian steril lengkap dengan pelindung kepala serta masker itu, menghela napas terlebih dulu sebelum benar-benar mendekati sosok tersebut.
Menduduki satu-satunya kursi yang berada di sisi ranjang, Damar menatap lekat wajah yang sering membuatnya kesal itu.
Ia sempat panik saat tahu golongan darah yang dimiliki oleh Lala tak tersedia di bank darah. Beruntung Alan, alias sekretaris Raka yang baru memiliki golongan darah yang sama sehingga Lala bisa ditangani dengan cepat.
"Saya emang suka kesel sama kamu. Tapi ngeliat kamu diem aja tanpa ngelakuin apa-apa kaya gini, saya enggak seneng sama sekali," ucap Damar lirih.
Entah mendapat dorongan dari mana, tangan laki-laki yang telah berusia tiga puluh tahun itu terangkat begitu saja ke puncak kepala Lala, lalu mengusapnya dengan lembut.
"Saya lihat-lihat, ternyata kamu cantik juga kalau lagi kalem begini."
Eh? Tadi aku bilang apa?
Damar langsung mengatupkan mulutnya lagi. Tak menyangka jika kata-kata itu akan keluar dari bibirnya sendiri tanpa sadar.
Tiba-tiba saja ia menjadi gugup tak jelas. Tangan yang bertengger di kepala Lala lantas ia tarik dengan cepat untuk dipakai mengusap tengkuknya. Wajahnya yang tertutup masker mendadak memanas.
"Kamu jangan ge'er! Sa-saya tadi cuma keceplosan aja!" sangkal Damar dengan suara tertahan.
Tak habis pikir dengan jalan pikirannya sendiri, laki-laki itu lantas berdiri, lalu meninggalkan ruangan itu bersama perasaannya yang tak menentu.
Di luar ruangan, Damar disambut oleh Raka dan Alan. Kedua orang tuanya telah pamit beberapa jam lalu bersama Syifa karena masih harus mengurus si kembar tiga.
"Gimana, Kak?" tanya Raka.
"Ba-baik, kok. Sebentar lagi Lala lewatin masa kritisnya. Sepertinya dia termasuk orang yang tahan banting. Terbukti dengan ketahanan tubuhnya yang begitu luar biasa," terang Damar tanpa diminta.
Sikap kakaknya yang gugup itu membuat Raka memicingkan matanya dengan curiga. Namun saat ia ingin membuka suara, Damar sudah terlebih dulu berbicara kepada Alan.
"Makasih, ya, Lan. Untung golongan darah kamu cocok sama Lala."
Laki-laki dengan air muka datar yang sedari tadi hanya diam di samping Raka itu hanya mengangguk tanpa membalas ucapan Damar.
Raka terkekeh geli melihat ekspresi kakaknya yang canggung saat tak mendapat balasan dari sekretarisnya itu.
"Santai aja, Kak. Alan emang kaya gitu orangnya. Dia cuma mau ngomong buat yang penting-penting doang," jelas Raka.
Damar melebarkan kedua matanya tak terima. "Jadi Kakak ngomong tadi enggak penting?"
Raka tertawa kecil, lalu menjawab, "enggak, Kak."
Damar langsung berdecak kesal mendengar jawaban sang adik yang terlalu jujur itu.
"Udahlah. Kakak pergi dulu. Kamu kalau mau jenguk Lala nanti aja. Assalamu'alaikum."
Raka mengangguk dengan senyum geli yang tercetak jelas di ujung bibirnya. "Iya, Kak. Wa'alaikumussalam."
Setelah itu, Damar benar-benar melangkahkan kakinya menjauhi kedua orang tersebut untuk melanjutkan tugasnya sebagai seorang dokter.
* * *
Komentar untuk part ini?
😎😎😎
KAMU SEDANG MEMBACA
My Zettyra! [Terbit!]
General FictionBismillah, My Zettyra Open PO. Untuk pemesanan hubungi nomor yang tertera di banner, ya. Terima kasih. 💚 Ada tambahan bab di dalam versi cetak. So, jangan sampai kelewatan kisah Kak Damar sama Lala, yaaa.