Chap.70

887 43 5
                                    

Udara pagi yang kini mulai Nafisa rasakan benar-benar membuat dirinya terhanyut oleh pikiran yang saat ini sedang berkelana, mencari tujuan akhir dari setiap pemikiran yang ia hasilkan.

Selepas shalat Subuh tadi dirinya memilih untuk tetap terjaga, terlebih lagi saat ini Nafisa sedang berada di kota kelahirannya sendiri.

Purwakarta.

Ia sangat senang karena bisa berada disini sebelum lebaran. Padahal biasanya, ia dan keluarga hanya akan mengunjungi Purwakarta setelah lebaran saja.

Ya, setidaknya saat ini Nafisa tidak ingin membuang-buang waktunya untuk menikmati kota kelahirannya.
Saat ini Nafisa sudah berpakaian rapi serta menutup aurat tentunya, ia memiliki rencana untuk mengunjungi  ‘Situ Buleud’ yang merupakan salah satu ikon terkenal di Purwakarta.

Sebelum menjadi taman ‘Sri Baduga’, taman ini adalah danau yang cukup luas berbentuk bulat yang disebut ‘Situ Buleud’.
Asal usul Situ Buleud berkaitan dengan peristiwa perpindahan ibukota Kabupaten Karawang dari Wanayasa ke Sindangkasih, tepatnya sejalan dengan pembangunan infrastruktur kota Purwakarta pada tahap awal.

Kendati demikian, meski namanya terkenal dengan nama ‘Sri Baduga’, masyarakat asli Purwakarta masih memanggilnya dengan sebutan Situ Buleud. Saat ini tempat itu menjadi sangat terkenal akibat maskot dari air mancur yang dibuat pada masanya.

Tempatnya yang indah dan mampu menyegarkan mata  telah membuat Nafisa lebih memilih untuk mengunjunginya setelah sekian lama tidak bermain disana.



“Abi! Aku mau ke sitbul dulu ya”
Sitbul, begitulah kebanyakan orang di Purwakarta menyebutnya.

“Sama siapa?” Tanya Hafidz

“Sama kak Revi” Jawab Nafisa jujur, saat ini Revi juga sudah berada disisinya dengan setelah baju yang sudah rapi pula.

“Baru aja dikhitbah udah main-main itu anak” ucap Rafa yang merupakan kakak dari Revi.

Yang ada disana tertawa, mereka menyetujui ucapan Rafa dan rupanya sedang berusaha untuk menggoda Revi.

“Biarinlah! Syirik turutin!” Ketus Revi.

“Astagfirullah, perbuatan syirik itu sangat dosa dan tidak disukai oleh Allah” Rafa mengucapkannya sembari menjewer telinga adiknya yang terbalut dengan jilbab pashmina berwarna navy.

“Aw! Abang ih sakit!” Revi terlihat meringis dan berusaha untuk melepaskan jeweran dari kakaknya yang menyebalkan itu.

Nafisa hanya bisa menggelengkan kepala, sepupunya ini sudah dewasa namun kelakuannya tak kalah jauh dari anak-anak TK.

“Malu tuh dilihatin Nafisa!” Revi menggerutu.

“Ngapain juga malu” ucap Rafa.

“Hallah! Yang dulu suka sama—pft!” Revi terkejut ketika telapak tangan Rafa berhasil membungkam mulutnya yang benar-benar ember tersebut.

Nafisa terdiam, ia dibuat penasaran dengan ucapan Revi yang belum tersampaikan seluruhnya. Saat ini yang bisa ia lihat hanyalah wajah memerah Rafa dan juga ekspresi keterkejutan Revi.

“Udah sana berangkat! Keburu siang, nanti panas” Rafa mendorong Revi halus.

Dih parah, iyaiya”Revi pun menarik pergelangan tangan Nafisa dan membawanya keluar dari rumah.

Selama di perjalanan mereka hanya terdiam, belum ada pembicaraan lain setelah Nafisa mengeluarkan pertanyaannya.

“Kamu tadi mau ngomong apa?” Nafisa bertanya.

Menyebut Namamu Disetiap Do'akuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang