2 - Pelangi Cinta

130 22 17
                                    

Siang sepulang kuliah, kusaksikan Lensa tengah menyalakan bluetooth speaker di atas coffee table ruang keluarga, memperdengarkan lagu dari Diskoria yang berkolaborasi dengan Afifah Yusuf. Belakangan, cowok itu memang suka mendendangkan syair romantis.

Jangan bilang ia sedang diterpa hawa asmara? Masih kelas sepuluh, astaga.

"Len, bunda mana?" Tanyaku usai menepuk bahu kanannya.

"Eh, Kak Lindi udah pulang." Mesam-mesem ia menyambutku, mengecilkan volume suara. "Bunda lagi di rumah tetangga depan, bantu bikin kue nastar. Kenapa?"

"Pantes sepi. Nggak apa-apa sih, kirain pada ke mana. Kamu baru pulang?"

"Udah dari jam dua tadi. Kakak sore banget baru dateng, habis dari mana?"

"Tadi ada rapat perdana UKM jurnalistik, sekalian pembentukan panitia musyawarah besar sama pemilihan raya ketua tahun depan."

Lensa mengikutiku duduk bersila di atas karpet, memperhatikanku intens. "Kak Lindi jadi panitia divisi apa?"

"Sekretaris, padahal baru daftar." Jawabku letih. "Tahu, nggak, sih? Ada cowok aneh yang ngaku ketua angkatan sama anak UKM musik, ngajak Kakak kenalan di kantin."

"Ganteng?" Pancingnya.

Kunaikkan alisku setuju. "Kalau nggak ganteng, nggak bakal Kakak ceritain."

"Woahh.. seorang Kak Lindi didekati cowok baru selain Kak Ardan, bener-bener berita gila!" Seru Lensa antusias, diambilnya bantal kecil untuk dipeluk. "Lanjut, Bos! Terus, dia gimana sama Kakak? Gayung bersambut atau Kakak tinggal pergi mencari kitab suci ke barat?"

"Lu kata gue Sun Go Kong??" Kusikut lengan Lensa perlahan, tawa renyah timbul di antara kami. "Ngobrol sebentar sih, Kakak juga sempet dianter pulang ke rumah sama dia. Besok katanya mau jemput jam delapan pagi, mumpung sekelas."

Kasihan sekali adikku ini, kisah asmara sang kakak cukup jarang diketahui. Kalau pun tertangkap radarnya, ia lebih sering menghapus air mataku.

"Aku harus tahu dia orangnya gimana, baru kulepasin Kakak dianter jemput sama dia setiap hari." Ksatria baja hitam versi penggemar tempe mendoan itu mengultimatum, menghembuskan napasku berat.

"Apa sih lo, Len, kayak mau pastiin dia bakal jadi calon jodohku secepetnya aja."

"Memang sampe kapan Kak Lindi mau nunggu Kak Ardan? Jangankan putus dari Kak Milla, ngerti keadaan Kak Lindi sekarang aja nggak."

Tolong, Lensa, berhenti mengingatkan derita asalku mengapa kuikuti kepindahan kerja mama ke Jakarta bersamamu, ketimbang harus hidup mandiri di Palembang.

"Kak," kali ini tatapan memohon Lensa diiringi genggaman hangat tanganku menyorot prihatin. "Kakak nggak boleh sedih berkepanjangan. Kakak berhak bahagia sama siapapun, termasuk orang yang tadi Kakak kasih tahu ke aku. Jujur, aku seneng lihat muka Kakak berubah lebih cerah sekarang."

"Kak Ardan nggak pantes ditangisi, Kak Lindi cuma boleh banyak senyum mulai detik ini. Oke?"

Bocah ini, sungguh.. bersyukur aku memilikinya kala orang tua kami memutuskan menjalani long distance marriage selama lima tahun ke depan.

Takut ayah atau bunda selingkuh? Boro-boro. Mana ada perempuan genit atau laki-laki pengeretan menyukai sifat galak bunda, bahkan ayah yang super pelit?

Walau aku dan Lensa dibekali kartu debit, wajib terisi oleh mereka seminggu sekali, tetap saja jika meminta anggaran tambahan dengan alasan kapan pun, kuping kami berdua harus rela panas dua jam dihajar pemahaman mereka soal pengaturan finansial.

KANNESIA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang