17 - Rasa Pertama

27 7 7
                                    

Minggu UTS berlangsung, aku dan Rully langsung menghuni perpustakaan selepas makan siang kilat serta menghadiri rapat organisasi masing-masing.

Rully sibuk dengan persiapan acara seminar HIMABI, sementara kucicil pembuatan laporan pertanggungjawaban program serupa yang menuai sukses. Namun, ia tidak berhenti mengingatkanku bahwa Akuntansi Biaya adalah mata kuliah terhoror jika tidak dipelajari minimal H-1.

Namanya juga mahasiswa transfer baru, kuiyakan saja. Lagipula, kuakui memang sulit jika otak tidak disegarkan beberapa hari sebelumnya.

Kami mencoba menyelesaikan satu contoh soal berbeda menggunakan pensil agar mudah dihapus jika salah. Suasananya tenang sekali, mendukung konsentrasi.

"Ini masuk cash, kan?" Tanya Rully. Kuanggukkan kepalaku begitu kuperiksa tulisannya.

"Kalo dikurangi 15%, total jadi 20 juta, bukan?"

Kutunjukkan jawabanku, Rully tersenyum.

"Bener. Balance, nggak?"

"Balance, doongg!"

Tos pelan terlaksana. Rully lalu mengecek jam dinding, sudah pukul setengah 6 sore.

"Satu soal lagi, terus kita pulang." Kata Rully.

"Kenapa nggak lanjut ke perpus pusat kampus aja?" Tanggung, menurutku. Lagipula, bunda menyetujui izinku pulang di atas pukul 21.00 kok.

"Iya, perpus pusat emang buka sampe jam 10, kalo fakultas kan jam 7 udah tutup. Aku nggak mau kita kecapekan." Rully beralasan benar, sulit kubantah.

"Ooh.. gitu. Ada yang pernah nginep, nggak, sih di sana?"

"Kalo pas musim skripsi, buka 24 jam."

Pantas, SPP-ku bisa mencapai 8 digit per semester, fasilitasnya tidak main-main. Dosen profesional tapi asyik, kafetaria bersih meski murah meriah, perpustakaan lengkap dan tidak tutup selama semester genap, keamanan terjamin.

Kalau sudah begini, aku ingat betapa jerih payah ayah bolak-balik keluar kota agar aku dan Lensa bisa sekolah sampai jenjang perguruan tinggi, sungguh luar biasa.

Nggak heran, semalam Lensa menyelesaikan makan malam lebih cepat, buru-buru ke kamar mengikuti seminar beasiswa pendidikan daring. Ia tidak ingin merepotkan ayah dan bunda lebih banyak, rupanya.

"Lin, kok bengong? Sini aku lihat."

Teguran Rully menyadarkanku kembali memainkan kalkulator. "Belom selesai, tinggal sedikit lagi."

Senyum teduhnya terulas menanggapiku. "Nanti kuanter kamu pulang, ya."

"Iya, Rul, makasih."

***

Sebuah cone berisi es krim double scoop rasa mint chocolate dan vanila Rully belikan cuma-cuma saat beristirahat berkendara di tengah taman kota. Katanya, lumayan untuk mendinginkan kepala sehabis menghitung uang yang bukan milik kami. 

Ia sendiri menyedot strawberry milkshake, duduk di samping kananku, memandang orang-orang berlalu lalang.

"Aku ganti berapa?" Kurogoh saku dalam jaketku, tetapi telapak tangan Rully keburu terangkat ke atas.

"Next occasion aja, kayaknya enak kalo kamu masak mie goreng."

"Makasih banyak, Rul."

"My pleasure."

Lagi, aku berusaha berpikir apa yang bisa kulakukan untuk mengurangi beban keluarga. Kerja sambilan di coffee shop? Mengajar les? Atau berbisnis kecil-kecilan?

KANNESIA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang