14 - Tentang Kita II

31 7 4
                                    

Kak Ardan tidak berkunjung terlalu lama. Setelah memastikanku makan malam dan minum obat, ia pergi pamit pulang ke hotel, sekaligus menuntaskan pekerjaannya yang tertunda hari ini.

Jika bunda mau memaafkan setulus hati, maka ada Lensa yang tidak berhenti berekspresi datar sambil menenteng dua botol berisi minyak goreng dan oli motor selama pembicaraan berlangsung.

Anak bungsu itu memang tidak main-main dalam membela kakaknya. Syukurlah, bunda berhasil meredam kejadian tak diinginkan.

Aku? Entahlah. Perasaanku seperti mengambang. Satu sisi merasa lega, sisi lain kangen hampir gila.

Move on itu tidak mudah, percayalah.

Piring bekas makan hendak kucuci usai Kak Ardan meninggalkan pintu utama, ketika pergelangan tanganku ditahan oleh Lensa sebelum menggapai scotch brite.

"Kakak istirahat aja, biar aku yang beresin." Tegasnya.

"Eleuhh.. tumben rajin. Makasih, Adek sayang.." Kuusap rambut cowok setinggi 185 cm itu. Makin tinggi aja ini bocah, padahal baru kelas 10.

Yang setinggi 164 cm sepertiku apa kabar?

"Ke kamar gih, Bang Rully nunggu di sana." Suruh Lensa sembari membalurkan busa sabun cuci ke atas piring kotor.

"Dia belom makan, ya?" Tanyaku khawatir. Lensa mengangguk tak tega. "Kok nggak kamu suruh makan sih, Len?! Anter gitu ke kamarku!"

"Dia nggak mau makan sebelum ketemu Kakak, orang dia ngomong sendiri pas kita ngendap-ngendap ke atas lewat tangga belakang. Macem maling kutang aja tadi siang."

Ya Tuhan. Maaf, Len, aku ngakak.

Lantas, kubawakan piring nasi beserta lauk pauk, segelas air putih, dan sekaleng susu steril milikku, menuju lokasi di mana seorang Rully Arudirya Pradana justru sibuk membolak-balikkan album fotoku dan Lensa semasa kecil, seraya bersandar nyaman di tepi ranjang.

Ini pasti kerjaan Lensa supaya Rully ada hiburan anyar.

"Eh, calon istri cantikku udah dateng. Sini duduk, sayang."

Kulempar boneka babiku di atas meja rias ke wajahnya.

"Ngomong sekali lagi, mending pulang aja!"

"Bercanda, Lin. Namanya juga orang naksir, masa' nggak boleh gombal depan calon target?" Sahut Rully santai.

Tapi, degup jantungku nggak santai sama sekali mendengarnya.

"Badanmu udah enakan?"

"Better, Rul. Nih, makan dulu, biar ada tenaga nyetir balik ke rumah."

"Hehe.. thanks, Lin."

Ketenangan mencabik desir rancu antara kami. Aku tidak tahu harus membuka cakap sepenting apa, Rully sendiri asyik mengunyah.

Jujur, aku takut Rully sakit hati begitu mendapati Kak Ardan memelukku hangat. Bisa jadi ia cemburu, atau malah mengikhlaskan. Hati orang mana ada yang tahu?

"Enak, nggak?" Tanyaku klise.

"Masakan bundamu nggak pernah salah kok." Bagus, nada suaranya baik. "Susunya diminum, Lin, jangan lupa."

Oh ya, benar, teman-teman sudah merelakan uang saku berkurang demi memerhatikan kesehatanku agar segera masuk kuliah.

Sesuatu yang gratis dan sehat pantang kau lewatkan, Lindi, teguklah hingga habis tak bersisa.

"Bingkisan dari anak-anak bisa sebanyak parsel natal, karena kelakuan kamu, kan?"

Rully menyeringai. Tebakanku tepat.

KANNESIA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang