6 - Risalah Hati

62 13 7
                                    

"Lindi akhir-akhir ini sering bengong sehabis ketemu oma di panti."

Kabar baru Audrel mengawali hari Ardan di meja makan, sebelum mengantar Milla pergi ke toko bunga demi menghadiahkan kejutan bagi ibunya yang berulang tahun.

Sesendok nasi goreng pedas tidak jadi Ardan suapkan ke dalam mulut, malah melirik Milla tak enak hati yang sibuk menggulirkan layar ponsel, mencari-cari referensi coffee shop sebagai tempat nongkrong selanjutnya minggu ini.

"Kenapa diem? Lo bingung dari mana gue tahu itu semua? Jangan pernah coba remehin gue, Dan."

"Apa yang udah selama ini lu perbuat di belakang gue, De?" Ardan bertanya tajam, mengagetkan Milla. "Lu pengen gue jadi suami Lindi? Gue harus mohon-mohon sama Lindi supaya maafin gue, terima gue balik kayak dulu lagi, atau gimana?"

"Emosi amat, Pak. Kasihan tuh tunangannya nggak tahu mau ngomong apa."

Audrel boleh saja membalas cuek, berbeda saat sikap tenang Milla menjawab...

"Nggak ada sejarah dalam hidup gue saingan sama anak kecil."

Tawa Audrel mengudara, meramaikan pagi itu ketika orang tua Ardan dan Milla tiba menikmati santapan masing-masing.

Mereka tengah membahas persiapan pernikahan dua sejoli itu yang sedang saling menceritakan beban kerja, menyisihkan ruang agar Audrel dapat bertukar pesan dengan Rully.

Audrel
Luluhin hati lindi
Habis itu lempar ke ardan
Kalau udah sama2 goyah
Celakain milla gimana pun caranya

Rully
Orang tuh jam segini bilang good morning kek
Baru melek udah pengen bunuh orang aja lo

Audrel
Lo nggak tahu betapa eneknya gue sama si penyihir gadungan

Rully
Gue sih oke aja selama fee-nya cocok
Cuma yang gue pikirin
Gimana kalo gue cinta beneran sama lindi?

Audrel
Bukannya bagus
Keluarga lu sekarang udah membaik
Mau nikah habis wisuda juga terserah lo berdua
XD XD

Rully
Sialan, ide lo bagus banget de

"Om, Tante, Ardan, Milla, Audrel berangkat dulu, ya." Pamit sang wanita muda manis berbalut setelan monokrom khas The Executive. Diambilnya sebuah kunci mobil dari tangan Ardan setelah anggota keluarga tertua beserta tamu mempersilakan.

Tanpa mereka ketahui, bukanlah gedung kantor yang Audrel tuju, melainkan alamat kediaman kakak adik kesayangannya tinggal di Jakarta.

***

"Lo nggak marah sama gue, kan, Lin?"

Aku tidak mungkin mati bosan akibat dicecar pertanyaan ini setiap kami berdua bertemu. Terpaksa sepiring batagor kantin kuanggurkan selepas kelas sistem informasi manajemen.

"Rul," tekanku. "Gue cuma nggak ngerti kenapa semua orang yang gue kenal nyuruh gue maafin Kak Ardan dan berhubungan lebih dari temen, selain Lensa. Kalian belum pernahkah jadi gue? Nggak tahukah rasanya dijanjikan segala macem berakhir dusta?"

"Satu hal yang harus lo tahu, gue nggak melakukan ini karena uang." Sergah Rully tegas menatapku. "Semua orang juga tahu gimana perasaan lo masih disimpen buat Ardan."

"Alasan gue ikut pindah ke Jakarta bareng ayah sama bunda, bukan cuma menghindari Kak Ardan, Rul. Gue masih terlalu dini buat mengenal cinta. Jangankan temen-temen gue yang udah pada nikah muda, rasanya tulus aja gue udah lupa! Gimana mau simpen perasaan itu, kalo ternyata cuma kekosongan yang selama ini temenin gue, Rul?"

"Tahu, gue tahu banget, Lin. Maka itu, lo mending pikirin baik-baik dengan kepala dingin. Siapa tahu Ardan bakal berubah?"

"Lo terlalu pinter buat kibulin gue. Kalo semua cowok berubah demi cewek segampang lu bilang, nggak akan ada perkara KDRT penyebab pengadilan agama penuh sama pasangan yang mau cerai, Rul."

Frustasiku memuncak. Sudah mendiamkan Lensa sejak semalam, tidak makan teratur beberapa minggu padahal acara seminar tinggal menghitung hari, praktis hanya Rully yang seolah tak mau meninggalkanku barang sedetik pun.

Memang nyata dan benar adanya. Kesungguhan cinta kasih baru kutemukan pada keluargaku, bila saja Kak Ardan dan keluarganya tidak terlalu mementingkan materi, sebutir permata harapan bisa kugenggam sementara.

Namun asa tetaplah terkubur oleh segan dalam menghubunginya lebih dulu.

Sebesar aku berusaha memaknai ragu, selalu terhapuskan oleh senyum Rully.

Kami bersama-sama mengenal dasar permukaan ombak pertemanan, tapi beberapa kali aku dibubuhkan yakin setiap kalimatnya terlontar teduh.

Tuhan, aku masih muda, jangan sampai sehelai rambutku memutih karena kebutaan jalan keluar ini.

"Gue nggak bisa suka sama Kak Ardan lagi. Cukup sekali aja gue bego, nggak akan gue susahin tenaga Lensa buat hajar dia."

Tampak ultimatumku merilekskan lesung pipi itu. Genggaman jemarinya pada pergelangan tanganku menghangat, membawaku larut dalam kekaguman sejenak.

"Biar pelita sang surya bersembunyi di balik gelap awan, alam semesta nggak berhak menghakimimu yang telah menolak kesempatan kedua dari Ardan, Lin."

Sudut bibirku ikut tertarik ke atas. "Biar daun bersorak atas keputusanku, kamu bakal tetep naksir aku, kan, Rul?"

"Tentu. Karena jiwaku berbisik lirih, bahwa aku harus memilikimu, Lindi."

"Well, selamat berusaha, Rully Arudirya Pradana."

***BERSAMBUNG***

KANNESIA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang