4 - Dalam Hati Saja

62 16 12
                                    

"Besok kalo Bang Ardan berani kemari, aku temenin Kak Lindi maki-maki, pake efek sembur es sirup cocopandan buatan bunda."

Inilah cara si bungsu menenangkanku, setelah kuusahakan diri ini kuat sejak telepon darinya kuangkat tadi siang, memunculkan tanda tanya besar bagi Rully mengapa berat sekali untukku mengikuti kuliah selanjutnya.

Baru dua hari pindah kota dan rumah, laksana kakaktua bertengger menyaksikan perubahan musim di atas dahan pohon cemara, masa' iya aku harus berdiam tenang dalam kamar selama seminggu demi supaya sel-sel otak ini siap menerima pengajaran dosen?

Setengah kotak tisu hampir habis, Lensa berganti menyodorkanku air putih hangat.

Sementara Rully yang turut mengantarku pulang, masih terbengong-bengong mendapati dua saudara itu saling mengasihi.

"Ini kagak ada satu mulut pun mau bocor ke gue, sebenernya ada apa?"

"Bukan urusan lo, tapi kalo terpaksa kepo, bukan hak gue buat cerita semua." Lensa menimpali, menjabatkan tangan kanannya dengan Rully. "Gue Lensa, adek Kak Lindi satu-satunya yang paling ganteng, manis, cerdas, tiada dua di dunia."

Kulirik bengis wajah tanpa dosanya, ia justru malah menyeringai lebar. "Nggak usah percaya sama dia, Rul. Tukang ngadu gitu, manis dari mana?"

"Rully, temen baru kakakmu." Ujar si cowok berkemeja Lacoste cokelat tua itu hangat. "Beruntung lo, Lin, punya adek. Seumur hidup jadi anak tunggal tuh nggak enak."

"Noh, nyai ronggeng. Dengerin." Sambat Lensa. Oh Tuhan, sabarkanlah aku. "Ngomong-ngomong, udah mau jam 7. Abang nggak pulang? Emang enak, ya, nonton cewek nangis dari sore?"

"Le, masuk kamar." Titahku dingin.

Awas saja sampai tidak menurut, kuadukan ayah bahwa tagihan kartu kreditmu mencapai setengah jumlah batas saldo.

Lensa kemudian menepuk bahu Rully hangat, meninggalkan kami di sela hening keadaan rumah.

"Tadi siang lu baru makan sedikit. Bunda lu masak, nggak?" Tanyanya perhatian.

Kugelengkan kepala pelan. "Biasa angetin lauk aja sih. Kenapa? Mau ikut makan juga?"

"Hmm, ada lauk apa di kulkas?"

"Sebentar, gue cek dulu."

Seperti biasa, dua kotak tupperware ungu tua berisi ayam bumbu rujak siap digoreng dan urap sayuran telah bunda sediakan. Dan jangan lupakan nasi tanak dalam magic com. Sesibuk apapun beliau bersosialisasi, tak pernah ia membuatku dan Lensa kelaparan.

"Gue goreng ayam, lu panasin urap di microwave."

Eh, kok masnya mengatur?

Belum sempat bibir ini melontarkan protes, senyumnya menjawab disertai kalimat...

"Jangan pernah bawa masalah ke dapur kalau nggak mau terjadi kecelakaan kerja nggak perlu seperti masakan gosong, jari keiris pisau, piring pecah, atau lainnya. Mending lo mandi sama ganti baju, nanti kalo urapnya udah panas sesuai timer, bakal gue keluarin."

"Oh ya, ajak Lensa makan bareng juga."

Kurotasikan bola mata tak percaya atas apa yang seorang Rully bilang barusan. Mencoba mengindahkan segala gundahku memang bukan kewajibannya, namun bukan berarti seenak jidat mulut itu menganggap seolah kami sedekat nadi.

Tidak, ini takkan bisa kubiarkan.

"Kenapa?" Tantangku kala binar gelora egois kami bertemu. "Kenapa lo nggak balik aja ke rumah, tinggalin gue sama Lensa berdua yang jelas udah biasa mandiri tanpa orang tua. Kenapa gue dalam diri lo ini berasa seperti kurang kasih sayang kalo lo pergi?"

KANNESIA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang