3 - (Bukan) Sephia

71 16 2
                                    

"Eh, tapi lu nggak usah GR dulu. Siapa tahu jodoh dateng dari mana aja termasuk lu, kan? Kasih tahu dong kalo lu ada sohib jomblo, lumayan ntar gue PDKT-in nggak lama. Mentok 3 bulan."

Bagus, jangan sampai aku tertipu kalimat merisaukan itu. Secercah cahaya ketenangan membuka lebar mata hati, mengantarkanku kembali berdiri tegak.

"Lin, lo mau ngapain?" Rully sedikit bingung saat ku berjalan melewatinya.

"Ke kelas lah. Mau ke mana lagi?"

"Lu lagi sakit, udah istirahat di sini aja. Toh kelas juga diliburin."

"Gue mau ke taman tengah Gedung E."

"Nah, gue anter deh kalo gitu."

Ka. Rep. Mu.

***

"Dan, diem-diem aja." Audrel menepuk bahu salah satu stafnya dalam tim pemasaran, usai rapat bersama dewan komisaris. "Mau kopi?"

"Udah tadi baru habis, De."

"Dasar calon pengantin baru, bukan temenin tunangan fitting kebaya malah ngantor. Padahal udah diizinin ibu bos, lho."

"Gue mau puas-puasin gangguin elu sama anak-anak kerja sebelum libur cuti nikah."

Audrel mendesah ringan, Ardan tertawa cukup lama. Percuma memakai topeng berukir indah bak pemain opera sabun abad 17-an, Audrel terlalu mengenal kepribadian orang ini, termasuk alasan mengapa pembahasan tentang Lindi menghilang dalam jangka waktu seminggu.

Tentu, sejak Ardan mengumumkan berhasil melamar Milla di hadapan semua orang.

Sang adik sepupu perempuan menggelengkan kepala, tersenyum menatap foto Lindi saat berseragam SMA yang Ardan jadikan wallpaper ponsel.

"Lu udah minta maaf sama Lindi?"

Sebelas jari itu menjeda menarikan keyboard komputer. "Gue nggak salah apa-apa, kenapa gue harus minta maaf? Dia pergi tanpa pamit, gue juga nggak bisa jelasin semua karena dia nggak kasih gue kesempatan."

"Dan, mau lo bela diri sampe mampus, satu keluarga itu udah tahu kalo lu bikin kecewa anak perempuan satu-satunya. Gue bilang apa sama lu dulu? Lu kudu pilih salah satu, Lindi atau Milla, dan gue sampe sekarang nggak ngerti kenapa lu malah pengen jadi suami Milla dengan cara sakitin hati Lindi. Tolol, paham?"

Sengaja Audrel layangkan sumpah serapah simpel agar Ardan berpikir lebih jauh nan jernih.

Seberapa besar cinta yang ia miliki terhadap mereka berdua?

Bahwa menentukan satu cinta sama dengan rela melepas sebelah sayap pengharapannya bagi seorang Ardan.

Setengah isi laporan telah disimpan, diliriknya jam dinding persegi bermotif tokoh wayang kulit Yudhistira di atas TV plasma yang terpasang. Mungkin, Lindi sudah memasuki waktu istirahat sebelum kembali ke kelas berikutnya.

Walau Ardan tahu, jadwal kuliah gadis setinggi 164 cm itu tak sama lagi seperti biasa ia hafalkan.

Nada hubung tersambung, sampai suara itu memahat rindunya cukup detail, menyangsikan kesibukan seluruh staf ruangan tempatnya bernapas.

"Ya, halo?"

"Hai, Lin. Apa kabar?"

"Baik. Kenapa telepon? Kak Ardan nggak kerja?"

"Kebetulan lagi nggak sibuk, udah masuk waktu makan siang juga. Gimana hari pertamamu di kampus yang baru? Udah ada temen?"

"Semua baik. Maaf, aku tutup dulu ya, Kak."

Selalu begini.

Ardan dan Lindi tak mampu terlibat percakapan melampaui belasan baris, kurang dari dua menit.

Memang, kasih tak terungkap seringkali takkan pernah menjadi pemeran utama, apabila berbagi perasaan dengan Lindi adalah alasan bagi Ardan demi menghindari kebosanannya bersama Milla yang telah dijalani lima tahun.

Kacau. Boro-boro dijadikan kemilau hati. Tak lebih dari saudara sukses merajam ekspektasi Lindi, Lensa, serta kedua orang tua mereka.

Pun sang pelaku merupakan sahabat kecil di daerah kediaman yang sama, buatlah rangkaian awan di langit menunda hujan turun agar rasa sesak dapat sedikit melega, meski hanya sesaat.


***BERSAMBUNG***

KANNESIA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang