Botol selai kacang hendak kuberikan kepada ayah, tetapi bel rumah keburu berbunyi.
"Lensa aja yang buka!"
Aku dan ayah tertawa geli. Anak itu sudah terlihat rapi pada pukul 09.10 pagi, pasti ada janji temu dengan seseorang.
"Yah, Kak, kenalin.. temen-temen sekelas Lensa." Kata si adik, menggiring tiga remaja lelaki tampan memasuki ruang makan.
"Pagi, Om, Kak Lindi." Sapa mereka. Ayah mengangguk, kuangkat tangan kanan ramahku. Mereka lantas memberitahu nama masing-masing.
"Mau ikut sarapan bareng?" Tawar ayah.
"Terima kasih, Om, kita langsung jalan habis ini." Tolak Jason halus.
"Lho, pada mau ke mana?" Tanyaku.
"Dufan, Kak! Mumpung hari Minggu." Jawab Zahir semangat. "Kak Lindi mau ikut juga?"
"Iya, Kak, biar makin seru!" Usul Caesar.
Sayangnya, ada tugas dua mata kuliah yang masih kubiarkan, terpaksa kugelengkan kepalaku lemah.
"Maaf, gais.. aku mau nugas. Kalian having fun duluan aja, nggak apa-apa."
Bahu Jason dan Caesar melemah, hanya Zahir yang tersenyum menanggapi. "It's okay, Kak. Kita pamit sekarang kalau gitu."
"Hati-hati." Ucapku, ketika Lensa dan mereka bertiga mencium tangan ayah, buru-buru keluar rumah menaiki motor masing-masing.
Pintu rumah tertutup, tinggallah kami berdua menikmati sarapan tanpa kehadiran bunda, yang sedang mengikuti kelas aerobik bersama ibu-ibu PKK kompleks.
Ayah sesekali membolak-balikkan kertas koran, saat aku berusaha menahan kantuk. Baru bisa tidur 4 jam yang lalu, tetapi perut sulit diajak kompromi. Ya sudah, kuharap setangkup roti dan jus jeruk dingin mampu mengisi tenagaku untuk kembali tidur sejam lagi.
"Kamu nggak jalan-jalan juga, Lin? Cerah banget, lho, di luar."
"Males, Yah, tugasnya banyak. Ini aja udah Lindi cicil, masih sisa dua."
"Seminggu dikasih tugas seberapa banyak?"
"8, sesuai jumlah makul."
"Buseeett!" Seru ayah terkejut. "Tapi deadline-nya nggak ada yang mepet, kan?"
"Dikasih jangka waktu seminggu kok. Cuma.. emang Lindi lagi nggak pengen keluar rumah."
Ayah mengangguk-angguk paham, memang aku tidak terbiasa bepergian sejak kecil dan lebih sering menghabiskan waktu di rumah. Berbeda dengan Lensa, kalau kaosnya belum terkena noda tanah atau semacamnya, belum mau pulang.
Segelas kopi panas ayah sudah habis, beliau ingin mengecek barisan tanaman bunda sekaligus merapikan rumput, membiarkanku meneguk jus.
Ting! Ting!
Rully
Aku udah di depan rumahManusia gila, bagaimana bisa aku menyayanginya?
Kubuka pintu utama, kuhembuskan napas lelah mendapati Rully bersandar di pagar.
"Masuk, Rul." Ajakku. Wajahnya langsung berbinar ria.
"Ada siapa aja di rumah, Lin?"
"Ayah sama aku doang, bunda belom selesai olahraga, Lensa baru aja pergi."
Gagal sudah rencanaku melanjutkan tidur yang tertunda. Dirasa cukup akrab, tidak masalah jika Rully masuk kamar juga, asal pintu tetap terbuka.
"Jadi mau manggung jam berapa?"
"Sore, jam 5-an. Kamu tadi malem tidur jam berapa?"
Dih, malah tanya balik.
"Kenapa?"
"Kayak capek banget. Kalo kamu nggak bisa ikut aku, nggak masalah kok."
Aku sudah bilang tidak mau, tapi dia sepertinya tidak sadar kalau semalam tengah memaksaku.
Ekspresi Rully agak berubah, mengingatkanku pada Jason dan Caesar tadi.
Kusuruh Rully duduk di tepi ranjang kala kunyalakan laptop.
"Aku mau nugas dulu, terus tidur sebentar paling nggak 2 jam biar segeran, mandi, makan siang, baru kita bisa jalan. Gimana?"
"BENERAN, LIN??" Rully menggoyangkan lengan kananku. Lucu, aku sampai mengekeh ringan.
"Lagian ngapain coba pagi-pagi udah nongol?"
"Ibarat 'pesen tempat', Lin, aku takut kamu tiba-tiba iyain tawaran selain aku, padahal aku udah minta tolong ditemenin kamu dari semalem."
Ya Tuhan, aku jadi ingin menggigit pipi gembul lelaki ini!
Rully lantas mengambil alih mouse-ku. "Tugasmu yang belom selesai apa aja, Lin?"
"H-hah?" Bodoh. Bisa-bisanya kau bengong!
"Tugas dari Pak Bahri sama Bu Sarah udah kamu selesein?"
"Belom, Rul, baru mau ngerjain." Jujurku.
"Kebetulan aku nggak ada utang tugas lagi, kubantu kerjain aja, ya? Toh bukan makalah atau presentasi, cuma tanya jawab 5 soal, nggak bakal ketahuan."
"Kok gitu??"
"Biar kamu bisa tidur lebih lama, kan?"
Setitik harap menyentuh kalbuku, merasakan senyum indah Rully mampu menenangkan batinku yang sempat menggemuruh ribut semalam. Dia bukannya peduli akan kewajibanku sebagai mahasiswa, melainkan kesehatan mentalku sendiri.
"A-aku ambil minum sama cemilan buat kamu sebentar."
Aku segera berlari keluar kamar, mengambil dua toples kue kering dan sebotol air mineral dingin dari dalam kulkas.
"Ada tamu, Lin?" Ayah yang sedang menenteng gunting rumput, melongok ke lantai dua.
"Rully, Yah, kita juga mau pergi nanti sore."
"Oohh.. oke. Jangan lupa makan dulu sebelum berangkat."
Kuacungkan jempol tanda mengerti, lantas membawa asupan tersebut ke dalam kamar.
"Makasih, Lin." Kata Rully yang tak lepas dari layar komputer lipat itu. "Kamu langsung tidur aja."
"Serius? Nggak usah di-print sekalian, Rul, biar aku sendiri aja ntar kalau udah bangun."
"Nggak apa-apa, sekalian. Besok tinggal kamu kumpulin deh, jadi nggak ada beban lagi."
Kamu terlalu baik, Rully, paham?
"Thanks a lot." Kupeluk sepasang bahunya sebentar. "Kalau bosen, kamu boleh nonton film dari hard disk biru di meja belajarku."
"Santai, Lin."
Sementara Rully bersenandung di lantai beralaskan karpet, sambil berkutat dengan dua tugas yang hampir membuat kami sakit kepala sebelah, kupeluk guling dan mencoba menutup mata.
Samar-samar... kudengar suara pintu ditutup, ditambah sesuatu yang lembut perlahan mendarat di keningku.
***BERSAMBUNG***
KAMU SEDANG MEMBACA
KANNESIA
Fanfic[K(arena) A(ku) (da)N (diri)N(ya) (m)E(rupakan) S(atu) I(rama) (cint)A] . . Lindi harus memilih masa depan mana yang ia inginkan, sesuai petunjuk si misterius Milla. Menjadi istri Ardan yang pernah melukai hatinya, atau harus belajar mencintai Rully...