8 - Pillow Talk

61 13 24
                                    

"Len,"

"Kenapa, Kak?"

"Kakak kudu gimana, ya?"

Kutunjukkan dua ruang obrolan berbeda melalui ponselku, ketika aku dan Lensa kompak tidur-tiduran di atas ranjang kamarnya, menonton film Final Destination dari seri pertama sampai keempat.

+62811378xxx
Lin, aku milla
Save nomorku ya

Kak Ardan
We need to talk lin
Besok aku bakal ke jakarta
Kita harus ketemu

Rully
Mau dijemput jam berapa?

Audrel
Kita janjian di coffee shop deket rumahmu ya

Malam ini hujan deras, tetapi aku dan Lensa malah tidak ingin memakan masakan panas atau menyeduh minuman apapun, sedari tadi kami larut dalam pikiran masing-masing meski adegan sadis berulang kali terpampang depan mata.

Bunda sudah tidur sejak pukul 8 malam, ayah baru mengabari 10 menit lalu bahwa pesawat yang ditumpangi menuju Surakarta baru mendarat. Tugas kuliahku dan sekolah Lensa telah kami kerjakan.

Namun, perasaan mengganjal seolah menghentikan cara kami menikmati bonding antar saudara kandung.

Kak Audrel akan menemuiku besok, usai gladi kotor seminar UKM jurnalistik dilaksanakan. Jelas tidak ada maksud mana pun selain menyuruhku kembali bersatu dengan Kak Ardan.

Mustahil, ikatan cinta antara Milla dan Kak Ardan terlalu erat untuk dipisahkan. Ikan mas koki sepertiku bukan cuma pelarian, tapi juga pelengkap penghias keharmonisan hubungan mereka, yang akan segera lekang oleh waktu.

Desah gelisahku lantas membuat Lensa membenahi bantal yang menyangga kepalanya seraya menatapku cukup dalam.

"Boleh aku tanya sesuatu sama Kakak?"

"Jangan soal fisika atau kimia, nggak ngerti."

"Nggak bakal. Sekelas vokasi UI aja Kakak nggak keterima."

Bocah kurang ajar, untung adik sendiri.

"Buruan mau tanya apa sebelum Kakak tinggal masuk kamar." Cetusku sembari memeluk guling. Lama-lama seram melihat tumpahan darah secara virtual.

"Kakak masih suka sama Kak Ardan?" Nada Lensa bertanya sungguh berhati-hati, takut melukai sanubariku. "Kalau mau, besok aku temenin ketemu sama Kak Ardan, biar semua jelas nggak bertele-tele. Emang nggak kesel sama kasihan gitu sama Kak Lindi? Itu cowok kayak kehilangan prinsip deh, aku beneran nggak demen lihatnya, sumpah.. nggak sabar pengen kulempar mukanya pake wajan teflon."

"Jangan kasar amat sih, Dek." beritahuku halus. "Kakak nggak apa-apa kok, cuma bingung aja. Oma sama Audrel terlalu mengharapkan Kakak, padahal Kakak udah mati rasa sama Kak Ardan. Kenapa mereka selalu memandang sebelah sisi aja? Pernah mikirin perasaan Kakak pas diputusin di tengah jalan aja kayaknya nggak pernah."

Sungutku mengundang Lensa iba. "Aku yakin Kakak kuat. Kalo boleh aku ngomong, yaa.. walau aku masih kecil, tapi intuisiku bilang Kak Milla sebenernya nggak jahat."

"Sama, Len. Mungkin Kakak belom terlalu kenal dia, jadi nggak bisa bikin asumsi apa-apa dulu."

"Nggak masalah, Kak. Mending hadapi aja besok dengan segenap kekuatan yang Kakak punya. Lagian, semakin Kakak pendem ini semua, semakin Kakak susah buka hati buat kesempatan baru."

"Maksud kamu, Len?"

"Kelihatannya aja Bang Rully emang suruhan Kak Audrel biar Kakak balik sama Bang Ardan, mana tahu kalo Bang Rully ternyata suka sama Kak Lindi?"

KANNESIA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang