18 - (Bukan) Halusinasi

36 6 1
                                    

Mereka bertiga yang berada di ruang keluarga sambil menonton acara Tonight Show melalui televisi, terperangah mendengar ringkasan cerita selama sepekan.

Ayah menjilati jari-jarinya yang berlumur mentega dan cokelat berkat martabak bangka di tangan, bunda setia melipat pakaian kami yang telah disetrika oleh Lensa, kuluruskan kakiku usai mencuci peralatan makan malam.

"Bunda setuju sama Rully, kalian belom ada setahun tinggal di sini, puas-puasin aja jalan-jalan, kuasai daerah sekitar, takutnya kenapa-kenapa kalo agak jauh. Nanti capek."

"Ayah sih nggak keberatan kalau Lindi mau kerja, tapi.. apa nggak sebaiknya nunggu masuk magang dulu?"

"Mau coba jualan apa gitu, Kak? Makanan atau jadi reseller make up?"

Bagi yang menyangka mereka tidak tertarik dengan topik ini, salah besar. Aku dan Lensa sudah menyelesaikan UTS, heran saja kenapa orang tua dan adikku cukup concern tentang keinginanku bekerja sambilan.

Kudekap bantal duduk, mengambil sepotong martabak. "Malah aneh kalo kuliah bisnis belom kerja atau nggak mulai usaha sama sekali."

"Kan emang niat Kak Lindi ngikut apapun yang berhubungan sama Kak Ardan." Kekeh Lensa.

Sial, aku lupa bagian satu itu.

"Beda, Le. Ardan ambil administrasi bisnis, Lindi kan bisnis internasional." Koreksi ayah. Lensa cuma nyengir ala kuda lumping makan beling.

"Masa' mau pindah jurusan? Ulang dari awal? Sayang atuh udah semester 4." Ucap bunda memelas.

"Nggak mau, Bun. Capek." Tolakku mantap.

"Kamu masih suka belajar sesuai jurusan kuliah yang sekarang?" Aku mengangguk atas pertanyaan ayah. "Bagus, selesein dengan baik, ya. Cuma itu pesen Ayah."

"Oh, tenang. Beres, Yah."

Kami saling meninju kepalan tangan, kemudian kembali menertawai aksi Desta dan Vincent, hingga bunda menepuk keranjang pakaian bersih lumayan keras.

"Ah! Bunda baru inget! Bunda ada ide!"

Beruntung, Lensa sudah selesai menyetrika. Bahaya jika besi panas itu mengenai kulitnya karena terlonjak kaget.

"Tolong pake aba-aba dulu, Bun, sebelum ngomong." Pinta Lensa ngeri, aku dan ayah tertawa.

"Hehe.. iyaa, maaf, anak ganteng." Bunda mengelus pipi Lensa lembut. "Jadi, temen kuliah Bunda lagi cari store assistant buat butik kebayanya di Permata Hijau. Deket, kan, dari sini? Gimana kalau Lindi ngelamar kerja di sana?"

Ketiga pasang bola mata tampak berbinar ria mendengarnya.

"Kebetulan temen kuliah Bunda minta pegawai paruh waktu, khusus ngisi hari Minggu, Senin, sama Selasa sore sampe malem tutup jam 9. Bunda inget, Lindi kan cuma ada 2 makul di 2 hari itu, aktif di UKM kalau izin pulang telat juga cuma Kamis sama Jumat. Mau dicoba, nggak?"

"Kalau mau, Bunda kasih kontak WA-nya nih."

Kukenang perkataan menyentuh Rully sebelum merespon.

"Bun, apa Lensa sama Bunda nggak apa-apa ditinggal di rumah berdua?" Tanyaku hati-hati.

Parah juga lelaki kedua keluarga intiku ini, seenak jidat memukul pelan pahaku menggunakan tutup toples kacang atom!

"Ciieee! Perhatian amat, Kak! Kalem, ntar kuajak temen-temenku main ke rumah sekalian kerjain PR."

"Bilang aja mau PDKT-in Sania."

"Cakep, tuh tahu. Gaji diatur baik-baik, ya, Kak. Siapa tahu bakal dilamar Bang Rully dalam waktu dekat."

KANNESIA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang