7 - Waktu 'Kan Menjawab

62 12 1
                                    

Ketika Cinta Harus Memilih.

Itulah judul novel karangan Mira W. yang Milla baca, saat menunggu kedatangan Ardan di sebuah restoran fine dining dekat kampus terdahulu Lindi, untuk makan malam bersama sekaligus bertukar pendapat mengenai dekorasi dan desain undangan pernikahan mereka.

Helaan napas jelas terdengar, begitu Milla tak mengerti atas alur kisah kasih dengan Ardan kini. Ardan hendak meminang Milla, namun Milla sulit menyentuh perasaan terdalam Ardan tentang Lindi.

Yang Milla ketahui, Lindi adalah alasan pelarian Ardan kala jenuh. Lindi lantas menanggapi serius berujung duka, meski Milla bersorak bahagia.

Sisi lain, Milla memikirkan posisi Lindi sebagai sesama wanita. Pejuang penerus emansipasi Ibu Kartini mana, yang rela harga diri dilukai tanpa permisi?

Pusing kepala wanita bergaun corak bunga anggrek bergradasi ungu putih selutut itu, dipadu oleh high wedges krem sederhana beserta hand bag Celine merah cerah di samping kiri. Mengurus pekerjaan sudah lelah, ditambah lagi kehidupan pribadi terusik tanpa jalan keluar pasti.

Milla benci menjadi orang dewasa.

"Hai. Maaf, kalo kamu kelamaan nunggu."

Pemuja wafel bersiram madu datang menyapa, menghentikan Milla membaca halaman berikutnya.

"Nggak apa-apa, Dan." Milla selalu memaklumi. "Mau pesan apa?"

"Hmm.. enaknya makan apa malem ini, sayang?"

"Tadi siang kamu udah makan nasi, boleh ganti menu karbo yang lain kalo mau."

"Spaghetti bolognese aja deh, sama jus melon."

Sang wanita mengangguk, memberi isyarat kepada seorang waitress yang berdiri tak jauh dari meja keduanya, tampak secepat mungkin tiba demi mencatat pesanan.

"Spaghetti bolognese dua, ice lemon tea satu, jus melon satu."

"Ada lagi, Nona?"

"Itu saja, Mbak. Terima kasih." Tutup Milla sembari mengembalikan buku menu.

Sepeninggal waitress tersebut, Ardan memperlihatkan sesuatu dari layar ponsel kepada Milla.

"Aku ada referensi dekorasi yang match sama bentuk undangan kita nanti. Berhubung kamu suka warna pastel dan aku apa aja nggak masalah, warna tiffany blue, off white, sama merah marun buat tulisan kurasa cukup cocok."

"Boleh juga, kalo dekorasinya bertema rustic park pake detail tiffany blue, soft gold, sama dark chocolate, gimana?"

"Deal, honey. Tinggal fitting baju pemberkatan, sama food test katering besok. Oke?"

Milla mengusulkan, Ardan mengiyakan. Sungguh pasangan serasi.

Mereka lalu membahas daftar tamu undangan, jenis souvenir, hingga sebuah pertanyaan simpel plus menusuk Milla lemparkan.

"Perlu undang Lindi dan keluarganya, nggak?"

"Kayaknya perlu," sahut Ardan. "Audrel udah dua hari di Jakarta, tapi dia belum kasih tahu aku apapun."

"Kamu menanti kabar dari Jakarta, Dan?"

Ah, dewa penyejuk situasi sedang memalingkan wajah, rupanya. Pantas, bibir Ardan terasa kaku digerakkan.

"Dan, aku yakin kamu paham betul soal filosofi kehilangan."

Milla sedang menahan emosi baik-baik, percuma api cemburu ia kobarkan bila kebohongan Ardan terus terulang.

"Nggak mudah bagi Lindi menerima kenyataan tentang kita berdua, Dan, seharusnya kamu jangan langsung meninggalkan dia begitu aja pas masalah di antara kita selesai. Kamu juga jangan terburu-buru menikahiku kalo kamu masih ada rasa bersalah sama Lindi."

"Biar kata Lindi cuma jadi pelampiasanmu karena aku, gimana pun kalian udah saling kenal waktu kecil dulu. Kalo aku harus mengalami nasib yang sama seperti Lindi, aku juga nggak bakal mau maafin kamu, walau Audrel sama oma mencoba bantu kamu supaya kamu sama Lindi bersatu."

"Aku memang sayang sama kamu, Dan. Kalo kamu ragu aku cinta kamu atau nggak, ada satu hal yang bisa aku buktiin sampe sekarang. Aku nggak pernah selingkuh, apalagi merasa bosan sama kamu."

Puas Milla berkata, minuman masing-masing terhidangkan ke atas meja. Tak lupa mereka berterima kasih.

"Mil," jemari Ardan hadir menyentuh kontur wajah kekasihnya. "Kenapa kamu dilahirkan terlalu baik buatku? Kamu bisa menolak lamaranku, atau aku bahkan lebih pilih Lindi semisal kamu memutuskan hubungan kita. Apa ini karena keinginan orang tua?"

"Satu hal juga yang harus kamu tahu. Aku mencintai Lindi penuh kekhawatiran, karena aku sudah menyakiti dua wanita yang kusayangi dengan rasa berbeda."

Sontak Milla mendorong bahu kiri Ardan menjauh, mulutnya menganga tak percaya.

"Ya Tuhan, Ardan.. kamu jahat banget! Kamu nggak tahu betapa frustasinya Lindi di kampusnya sekarang, sesuai laporan kaki tangan papaku! Dia cuma ditemenin Rully, suruhannya Audrel, dan Rully mau dibayar Audrel demi mempengaruhi Lindi biar kalian balikan! Tapi apa yang barusan kudenger, hah? Nggak salah?"

"Aarrgghh! Seharusnya Lindi sama Rully kujodohkan sebelum kamu jenuh sama aku, Dan... Oh, my Lord. Fair me the sins.."

"Prioritas orang tua kita saat ini cukup jadi yang kedua. Bagian terpenting di sini adalah kamu harus bener-bener minta maaf sama Lindi, sepulang Audrel dari Jakarta lusa nanti!" Keras Milla memberi peringatan, mengejutkan Ardan seketika.

"Segitu tega kamu menyalahkanku, Mil? Apa kamu pernah minta maaf padaku juga yang lebih mementingkan pekerjaan, dibanding saat aku sangat membutuhkanmu waktu itu?" Tuntut Ardan. "Kalo nggak ada Lindi tiba-tiba masuk rumah pengen numpang wifi, pisau di tangan udah kutusuk sendiri ke dadaku, bukan buat potongin Lindi sebuah apel sambil kerjain tugas kuliah."

"Kalo aku nggak peduli dan nggak minta maaf sama kamu, aku nggak akan terima lamaranmu, Ardan Tirtawarna." Kepalan tangan Milla mengetuk meja sekali. Beruntung tidak menarik perhatian sekitar. "Kamu tentu tahu kalo aku nggak berubah jadi workaholic, rumahku pasti udah terjual ke rentenir gara-gara hobi judinya papa."

"Bener juga.." lirih Ardan lemah. "Maafin aku, Milla."

"Aku juga minta maaf sama kamu, Ardan."

Mereka saling merenungi kesalahan, memandang nelangsa sepiring spaghetti beraroma mengguggah selera itu, mengajak pikiran berkelana ke dalam corak egoisme masa lampau.

Semestinya, Milla bisa mengatur waktu bekerja dan memperhatikan Ardan. Ardan tidak memandang Lindi sebagai pengganti posisi Milla. Sementara Lindi bebas mengepakkan sayapnya, berpetualang mencari cinta sejati.

Belum, ini semua belum terlambat.

Misi utama telah Milla tentukan. Ia mengecup pipi Ardan sesaat, hingga menyemukan rona merah keduanya.

"Hahh.. mubazir kalo kita sia-siain makanan seenak ini, udah capek-capek dimasak pula sama koki di belakang sana. So, aku nggak mau bertele-tele lagi, kamu wajib menepati janji baruku ini, Dan."

Ardan mengangguk yakin, seolah enggan melepaskan Milla kedua kali. "Maksudmu, kamu mau kita realisasikan perjodohan antara Lindi dan Rully?"

"Bener banget." Senyum ceria Milla merekah sempurna, melegakan hati Ardan. "Kita harus membahagiakan dua orang itu dengan cara kita sendiri, tanpa campur tangan oma dan Audrel."



***BERSAMBUNG***

KANNESIA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang