15 - Akal Sehat

37 7 4
                                    

"Lin, gue cabut duluan, ya. Kakak gue udah jemput." Erma buru-buru membereskan alat tulis, memasukkannya ke dalam tas. "Lo pulang bareng Rully, kan?"

Aku menggeleng. "Gue nanti naik ojol."

Cewek riang itu sejenak prihatin, mengelus bahuku sabar. "Ntar malem chat gue aja, Lin, kalo butuh temen cerita."

"Makasih, Ma. Hati-hati."

"Sip! Lo juga!"

Hari sudah sore, tetapi aku masih betah menghuni perpustakaan fakultas demi menyelesaikan tugas manajemen keuangan praktek sebelum UTS dimulai minggu depan. Persiapan seminar sendiri sudah 99%, gladi resik telah diadakan tiga jam yang lalu.

Mengapa cepat sekali? Sebab aku dan anak-anak UKM lain kompak bolos satu mata kuliah ramai-ramai, diiming-imingi surat dispensasi dan tugas pengganti, berhubung diundur oleh permintaan pihak kampus.

Syukurlah, semua berjalan lancar. Walau tidak dengan kata hatiku.

Selepas pengakuan Rully, ia pulang ke rumah dan tidak menungguku menjawab. Bahkan sejak Senin, jarang kutemui batang hidungnya. Kalaupun hadir di kelas, ia memilih mojok bersama cowok-cowok, termasuk Marshal dan Septa.

Rully tak lagi mengantar jemput diriku. Lebih tepatnya, aku menghindar.

Benarkah perasaan perempuan menjelang dewasa seperti ini? Mengejar cinta yang diinginkan, berakhir bertepuk sebelah tangan. Memutuskan pergi berlari, ketika ada insan yang menyukai.

Sungguh, aku tak mengerti apa mauku kini. Sampai baru kusadari, aku belum makan apapun lagi setelah sarapan.

Hasil tugas pengganti sudah kukirimkan lewat surel kepada dosen yang bersangkutan. Kucabut kabel netbook charger-ku, kugulung rapi, lalu kumasukkan dengan netbook-ku juga ke dalam tas, siap beranjak mencari asupan.

Langit memendarkan rona senja kemerahan sewaktu kujumpai di luar gedung, seolah menyerahkan ke mana kaki ini melangkah, asal sesuai selera.

"Lindi!"

Kutolehkan kepalaku ke belakang.

Buset! Kak Ardan?? Ngapain?!

"Kamu mau ke mana?" Tanyanya cerah. "Aku habis anter tante ke gedung sebelah, beliau dosen jurusan Sastra Inggris, ngajar kelas karyawan."

Maaf, aku tidak mau tahu.

"Hmm.. pengen cari makan dulu sih, Kak, terus pulang."

"Bareng, yuk, aku juga belom makan malem."

Tawa geliku mengudara, mengejutkan Kak Ardan.

"Kak Milla mau Kakak ke manain?" Sindirku halus.

"She's fine, aku bisa pastiin itu. Kalo perlu, aku bakal chat dia buat minta izin. Pasti dikasih."

Pede amat. Jika aku menjadi Milla, jelas kusuruh Kak Ardan menunda pernikahan.

"Kamu yang pilih deh, Lin, kita makan di mana."

Penawaran cantik. Aku suka ini.

"Janji, ya? Sampe di tempat yang aku mau, Kakak harus hubungi Kak Milla." Kuangkat kelingkingku, beruntung Kak Ardan mengerti untuk mengaitkannya.

"Janji!" sahutnya semangat. "Aku bawa mobil, BTW. Nggak masalah kalo mau pergi agak jauh sedikit."

Kami melangkah bersama ke area parkir, selagi aku berpikir.

"Ah, oke!" Kujentikkan jariku semangat. "Aku lagi pengen makan sate, Kak!"

Dugaku saat memasang sabuk pengaman, aku akan menunjukkan jalan di mana warung sate kesukaanku dan Lensa berada. Namun, begitu Kak Ardan mengendalikan setir menjauhi lingkungan kampus, aku cukup surprised mendengar penuturan santai lelaki berkaus polo shirt navy blue yang dipadu creme long pants itu.

KANNESIA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang