9 - A Sky Full Of Stars I

50 11 18
                                    

"Jadi, lu tinggal sama orang tua angkat sejak lulus SMP?"

Di sebuah kafe estetik daerah Kemang inilah, aku dan Rully duduk berhadapan, menikmati dua piring nasi goreng spesial, segelas es teh leci untukku, berikut ice americano kesukaannya sembari menunggu kedatangan Kak Audrel.

Percik obrolan ringan menghiasi selepas Ibu Nilam mengajar manajemen keuangan praktek sejam lalu, dengan lancarnya Rully bercerita latar belakang keluarga.

Walau aku sendiri heran, kok bisa aku tidak terganggu atas pembicaraan pribadi orang lain yang baru kukenal?

"Kan gua pernah bilang, orangtua kandung gue udah meninggal 10 tahun lalu, Lin. Tapi, mereka sama baiknya kayak ortu kandung gue, tenang aja. Cuma emang tingkah gue aja suka kelewatan, nyoba ekstasi, nongkrong dari siang sampe besok pagi, apapun itu."

Kuangguki kepalaku paham. "Lo punya adik atau kakak kandung?"

"Gue anak bungsu, kakak cewek gue kerja di Jogja."

"Oh ya? Namanya siapa?"

"Felly."

Entah mengapa, aku sangat ingin menggali informasi lebih dalam lagi tentang keluarga Rully.

Parah, sifat kepo Lensa mulai melingkupi gayaku bicara.

"Kak Felly pasti cantik," pujiku sekaligus membayangkan. "Kapan-kapan kalau ke Jakarta, gue bisa ketemu dia, kan?"

"Oh, pasti. Dia bakal racunin lu soal sifat positif gue yang jelas cocok jadi pengganti Kak Ardan di hati lu." Percaya diri Rully kembali timbul, sambil menghabiskan sepotong sosis sapi goreng utuh. "Lo sendiri gimana sama Lensa?"

"Akur sih, cuma kadar jahil sama ngeselinnya lumayan akut. Maklum, masih bocah, baru masuk SMA."

"Dia cukup protektif ke lo, Lin, lo harus bersyukur punya adek cowok yang peduli banget. Sama halnya gue ke Mbak Felly, nggak akan gue biarin dia nangis berhari-hari gara-gara manusia berhati iblis yang udah sakiti hati dia."

"Tapi, kenapa lo bisa beda banget sama Lensa ya, Rul?"

"Emang iya? Gue lebih ganteng, gitu?"

Sabar, Lindi. Kalau kamu sabar, kamu bakal jadi istri Rangga Azof.

"Bukan," kusedot minumanku sedikit, mengaduknya sebentar. "Lo terlalu tenang buat belain Mbak Felly, apa nggak ada sebersit keinginan buat ngehajar orang yang udah bikin kakak lo sakit hati?"

Rully menyelesaikan makan, meletakkan alat makan di atas piring kosong, memandang para tamu kafe yang sibuk dalam urusan masing-masing, meninggalkanku yang masih dihantui oleh sebuah tanda tanya besar.

"Seiring berjalannya waktu, nggak ada gunanya memakai kekerasan buat selesein masalah, Lin."

"Mbak Felly pernah menikah, gue dikaruniai satu keponakan cewek lucu, mereka cuma tinggal berdua di Jogja tanpa kakak ipar gue."

"Mbak Felly mutusin buat cerai waktu mantan kakak ipar gue nggak mau bayar perawatan keponakan gue, yang divonis berkebutuhan khusus. Dia menuding Mbak Felly selingkuh sama cowok lain, karena mantan kakak ipar gue itu yakin banget kalo dia dan keluarganya hidup normal secara psikis. Secara langsung, dia nggak percaya kalo keponakan gue itu anak kandung dia."

"Gue cegah Mbak Felly ngumpulin uang untuk tes DNA, karena kita sekeluarga tahu kalo itu nggak murah. Daripada Mbak Felly kerja keras buat hal yang cuma timbulin luka berkelanjutan, gue saranin dia sama keponakan gue pergi dari Jakarta supaya mantan kakak ipar gue nggak bisa cari mereka berdua. Kebetulan Mbak Felly jago masak, akhirnya sisa tabungan dia selama menjabat konsultan perbankan di sini, dijadiin modal usaha warung makan yang langganannya rata-rata mahasiswa sama karyawan."

KANNESIA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang