Bab 5

5.3K 1.1K 195
                                    

Kita berseberangan, ibarat dibatasi tembok tinggi yang kokoh. Sekuat apapun berjuang, tembok itu tidak akan pernah bisa roboh.

-Kita, Cinta dan Papa 2-

***

Hujan sore ini turun deras, Ina dan Jefri berteduh di teras sebuah masjid. Keduanya kompak diam, asyik dengan pikirin masing-masing.

"Lo kedinginan ya Jef? Nih jaket lo gue balikin," ujar Ina ketika melihat Jefri mengusap kedua tangannya, hal itu ia lakukan untuk memberikan kehangatan.

"Lo aja yang pakai," ujar Jefri diiringi senyuman.

"Tapi..."

"Lo aja In, gue enggak apa-apa."

Ina mengangguk saja, ia melirik Jefri dari samping. Lelaki itu tampak berbeda, seperti sedang gelisah akan suatu hal.

"Jef?"

"Iya?"

"Lo baik 'kan?"

Jefri memejamkan mata sejenak, lelaki itu menghela napas. "Jujur gue tersiksa sama perasaan yang gue punya buat lo."

"Jef, enggak usah dibahas ya." Ina berujar pelan, ia merasa kurang nyaman.

"Gue enggak pernah ngerasain perasaan sekuat ini sebelumnya." Bukannya berhenti, Jefri malah meneruskan kalimatnya.

"Jef..."

"Gue jatuh cinta sama lo, In!" Jefri menatap Ina, tulus dan serius.

Ina diam, ia seolah kehabisan kata-kata. Perempuan itu masih tak menyangka kalau Jefri seberani ini dalam mengutarakan perasaan, padahal lelaki itu tahu bahwa perasaan yang ia punya sudah jelas mendapat penolakan.

"Kenapa Tuhan menjatuhkan hati gue pada orang yang salah? Seandainya bisa memilih, gue enggak mau punya perasaan lebih ke lo."

"Gue enggak tau harus ngomong apa."

Jefri tersenyum tipis, lelaki itu menatap intens ke arah Ina. "Lo cukup diam, karena di sini gue cuma pengen lo dengar semuanya. Kalau cuma perihal lo enggak cinta sama gue, itu bisa gue atasi. Gue bisa buat lo jatuh cinta sama gue."

"Lo lihat ini, In." Jefri menyentuh kalung yang melingkar di lehernya. "Yang gue hadapi sekarang Tuhan. Kita berseberangan, ibarat dibatasi tembok tinggi yang kokoh. Sekuat apapun gue berjuang, tembok itu enggak akan pernah bisa roboh."

Mata Ina berkaca-kaca. Mengapa jadi seperti ini? Mengapa Ina harus dihadapkan dengan lelaki seperti Jefri.

"Gue sayang sama lo, tapi gue enggak bisa memperjuangkan apa yang gue mau," seiring dengan kalimat itu, air mata Jefri jatuh begitu saja.

"Jef, jangan lo pakai kata seandainya. Karena kata itu enggak akan menyelamatkan apa-apa. Gue paham gimana perasaan lo." Ina ikut menangis, lelaki di depannya seolah mampu menularkan rasa sakit yang dirasakannya.

Jefri memegang kalungnya, menatap benda itu sejenak sebelum kembali menatap Ina. "Kalung salib gue enggak akan pernah bisa nyatu dengan tasbih yang selalu ada dalam genggaman lo. Nyanyian rohani gue enggak akan pernah bisa senada dengan lantunan selawat yang sering gue dengar dari mulut lo."

Ina tak sanggup berucap, ia semakin terisak. Mengapa rasanya sakit?

"Kita sejauh itu In," ujar Jefri lirih.

Ina menghela napas panjang. "Jef, menjauh dari gue. Pergi sebelum rasa sakit lo semakin menjadi-jadi."

Jefri menggeleng. "Enggak bisa, gue akan semakin sakit kalau ngelakuin itu. Rasa sakit gue bisa dinikmati selagi gua dekat sama lo."

Kita, Cinta dan Papa 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang