Bab 25

2.7K 648 127
                                    

"Sayang, suami kamu yang ganteng, mapan, beriman dan tidak sombong ini pulang." Dilan memasuki kamar, lelaki itu duduk di kasur seraya melepas jaket yang ia kenakan, tak lupa juga ia melepas kaus kaki lantas melemparnya ke tempat pakaian kotor.

"Sayang? Dilan kembali memanggil Una, tetapi tidak mendapat sahutan.

"Katanya udah pulang. Tapi kok enggak ada." Lelaki itu berdiri dari duduknya.

"Sayang kamu di mana? Toilet ya?" Dilan menajamkan pendengarannya. Ia mendengar suara rintihan.

"Sayang?" Kali ini lelaki itu mengetuk pintu toilet, ia kembali mendengar suara rintihan yang lebih keras.

"Di--lan, sakit."

Itu suara Una, lirih sekali. Tetapi Dilan masih bisa mendengarnya.

Dilan segera membuka pintu toilet yang tidak dikunci itu, mata lelaki itu membelalak kaget ketika melihat keadaan Una. Istrinya terduduk di lantai.

"Astaghfirullah." Dilan panik, ia menghampiri Una yang terlihat menahan sakit. "Kenapa bisa kayak gini? Kamu kenapa?"

"Kepeleset, sakit." Una menangis, perempuan itu memegangi perutnya, untung saja Dilan datang, Una tidak bisa berbuat apa-apa karena rasa sakit yang ia rasakan begitu hebat sampai-sampai membuat perempuan itu tidak sanggup lagi berdiri.

Pandangan Dilan jatuh ke bawah, ia melihat darah. Tanpa pikir panjang lelaki itu langsung mengangkat tubuh Una dengan jantung yang berdebar hebat, ia takut terjadi apa-apa dengan istri dan calon anaknya.

***

"Makasih ya Kak udah mau anterin Anye."

Haydar mengangguk singkat diiringi senyuman tipis.

"Mampir dulu yu Kak, Anye buatin minum."

Haydar melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya, hari sudah sore. "Lain kali aja deh."

"Sebentar aja Kak, mau ya." Anye mamelas, berharap Haydar mau menerima ajakannya.

"Yaudah iya."

"Yey, makasih." Anye bersorak gembira, Haydar menggelang dibuatnya.

"Ayo masuk, Kak." Anye mengajak Haydar memasuki rumah, meminta lelaki itu duduk di sofa sementara Anye langsung pamit membuat minuman untuk Haydar.

Selang beberapa menit Anye datang membawa segelas jus jeruk untuk Haydar.

"Makasih Nye," ujar Haydar, ia meminum jus yang baru saja Anye letakkan di meja.

Anye duduk di samping Haydar, meraih remote lantas mulai asyik menonton televisi.

"Rumah lo sepi banget, Nye."

"Iya Kak, Anye cuma sama satpam yang jaga di depan soalnya Mbak lagi pulang karena ada urusan mendadak."

Haydar mengangguk mengerti.

"Tiap hari Anye kesepian Kak, capek kayak gini terus." Anye berujar pelan, ia menyandarkan punggung di sandaran sofa.

Haydar masih diam, ia memperhatikan raut wajah Anye yang menampakkan gurat kesedihan.

"Anye enggak dapat kasih sayang." Suara Anye bergetar menahan tangis. "Anye kangen sama papa mama."

Haydar menghela napas pelan. "Lo boleh nangis sepuasnya kalau itu bikin lo lega, enggak usah ditahan."

Mendengar ucapan Haydar, perempuan itu benar-benar menitikkan air mata. Ia tak lagi menahannya, Anye benar-benar meluapkan tangisnya.

Haydar hanya diam, ia membiarkan Anye menangis sejadi-jadinya. Perempuan itu menekuk lutut seraya membenamkan kepalanya di sana.

"Udah baikan hm?" Haydar bertanya ketika ia telah cukup lama membiarkan Anye menangis.

Anye mengangkat pandang, ia tersenyum tipis seraya mengangguk. Perempuan itu menghapus air matanya. "Makasih Kak, udah ada buat Anye hari ini."

"Sama-sama." Haydar berdiri dari duduknya. "Gue balik dulu, ya," ujarnya seraya mengusap lembut puncak kepala Anye.

"Kak!"

Haydar urung pergi. Satu alisnya terangkat menunggu kalimat apa yang selanjutnya Anye katakan.

Anye berdiri dari duduknya, perempuan itu menatap Haydar dengan tatapan yang sulit diartikan. Tanpa diduga, ia memeluk Haydar begitu saja.

Haydar kaget, kedua tangannya menggantung di sisi tubuh.

"Maaf karena Anye sayang sama Kakak." Anye memejamkan mata, mencari tempat paling nyaman dalam dekapan Haydar, walaupun pelukannya tidak mendapat balasan setidaknya lelaki itu tidak menolak.

Di rumahnya, Ana sibuk menelepon Haydar, nomor lelaki itu tidak aktif. Ana panik karena baru saja ia mendapat kabar bahwa Una dilarikan ke rumah sakit, ia ingin segera ke sana tetapi Haydar belum pulang juga.

Ana berdecak. "Haydar kemana sih?" Perempuan itu menghela napas kasar.

"Masih belum bisa?" tanya Lili, perempuan itu sedang menjaga Azzam dan Azzura yang tengah tertidur sehabis jalan-jalan bersama Ana tadi.

"Belum Bunda."

"Pasti sebentar lagi Haydar pulang, kamu tunggu aja."

"Tapi Ana pengen ke rumah sakit sekarang, Bunda. Ana khawatir sama keadaan Una, dia lagi hamil." Ana mondar-mandir, ia benar-benar khawatir dengan saudara kembarnya itu pasalnya Una sedang mengandung.

"Doakan semoga Una baik-baik aja, kamu duduk dulu. Pasti sebentar lagi Haydar datang." Lili berusaha menenangkan menantunya.

Ana menurut, perempuan itu duduk. Ia tidak berhenti mencoba menghubungi Haydar. Sekian menit berlalu terdengar suara mobil, Ana segara berdiri dan mengintip dari jendela.

"Haydar?"

"Iya Bunda, Ana minta tolong jagain baby AZ dulu ya." Setelah mengucapkan kalimat itu Ana berlari keluar kamar, ia harus segara menemui Haydar.

"Kamu dari mana aja sih? Kenapa enggak bisa dihubungi? Dari tadi aku telepon kamu tau enggak!" Ana langsung menodong Haydar dengan pertanyaan ketika lelaki itu memasuki rumah.

"Hp aku lowbat." Haydar menunjukkan ponselnya yang tidak dapat menyala.

Ana berdecak halus. "Pertanyaan aku yang satunya belum dijawab."

Kening Haydar berkerut bingung. "Yang mana?"

"Kamu dari mana?"

"Tadi ada urusan di kantor." Haydar tidak sepenuhnya berbohong, ia memang sempat ke kantor sebelum mengantar Anye pulang.

Ana mengangguk mengerti, ia tidak bertanya lagi.

"Una masuk rumah sakit, kita harus ke sana sekarang?"

"Loh dia kenapa?"

"Aku juga belum tau gimana kronologi kejadiannya, yang penting kita ke rumah sakit sekarang!"

Haydar mengangguk cepat. "Ayo."

"Yaudah aku ambil tas dulu kalau gitu," ujar Ana seraya berlalu pergi dari hadapan Haydar, tidak perlu waktu lama perempuan itu kembali lantas mereka menuju ke rumah sakit yang alamatnya sudah diberitahu oleh Andra.

Kita, Cinta dan Papa 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang