Lelaki itu memakaikan helm untuk Ina. Sontak saja perempuan itu kaget dengan apa yang baru saja dilakukan Jefri. Tidak hanya sampai disitu, lelaki itu juga mengenakan pengaitnya.
"Udah abis 'kan es krimnya?"
Ina mengangguk kaku, ia membersihkan sudut bibirnya yang kotor.
Jefri tersenyum tipis. Ia menurunkan kaca helm yang dipakai Ina, lantas mendaratkan satu kecupan di sana. "Enggak apa-apa 'kan? Cuma lewat kaca helm."
Ina memejamkan mata sejenak ketika sekelabat kebersamaannya dengan Jefri hadir diingatan.
"Hai!" Jefri melambaikan tangan, meminta Ina mendekat.
"Ngapain di sini?"
Jefri tersenyum, ia turun dari motor. "Sengaja nunggu lo," ujarnya seraya menopang tangan di atas kepala Ina, tubuh Jefri yang tinggi membuat lelaki itu mudah melakukan hal tersebut.
Mata Ina menatap ke atas, kepalanya terasa berat karena ulah Jefri. "Mau ngapain?"
"Mau enggak jadi model buat foto gue?" Tangan Jefri beralih pada kamera yang digantung di lehernya.
"Kemana?"
"Di sini aja, pakaian lo pas banget buat foto depan masjid kayak gini."
"Jelita nyesal karena udah minta Abang buat menjauh dari Kak Ina!"
Ina menoleh pada Jelita yang tak henti menangis sedari tadi, perempuan itu menatap kosong makan Jefri yang penuh dengan taburan bunga mawar.
"Gue juga nyesal karena pernah minta lo buat menjauh dari gue, Jef." Ina menggumam, perempuan itu tak kuasa menahan tangis.
"Na, pulang yuk." Kalimat itu seiring dengan sentuhan di pundak Ina.
"Pa, Ina mau di sini sebentar lagi aja." Ina berujar lirih, memohon pada Andra.
Andra menghela napas, ia mengangguk pasrah membiarkan Ina tetap tinggal bersama Tania, Jelita dan Bara yang juga belum beranjak dari pemakaman.
"Yaudah, Papa duluan. Kamu pulangnya hati-hati." Ucapan Andra diangguki oleh Ina, perempuan itu membiarkan Andra pergi.
"Kenapa lo pergi sih, Bang? Sekarang gue udah enggak punya Abang lagi." Jelita berbicara disela isak tangisnya, sementara Tania hanya diam, pandangannya tak lepas menatap makam sang putra.
"Siapa bilang? Lo punya gue kok." Bara merangkul Jelita, mengusap lembut pundak perempuan itu. "Gue juga Abang lo."
Jelita menatap Bara dengan tangis yang masih tersisa. "Beneran?"
"Beneran Jelita," ujar Bara diiringi senyuman.
"Makasih, Kak." Jelita menghambur ke pelukan Bara.
"Terima kasih, Bara." Akhirnya Tania buka suara, ia menyuguhkan senyuman tipis. Ia sudah lama mengenal Bara, lelaki itu berteman dengan Jefri semasa duduk di bangku sekolah menengah atas sebelum Bara pindah sekolah.
"Sama-sama, Tante." Bara mengurai pelukan. Ia berpindah posisi ke samping Ina, menyodorkan sebungkus permen pada perempuan itu.
"Enggak suka permen." Ina berujar ketus.
"Gue antar lo balik, sekalian makan es krim."
Ina menoleh, ia menatap Bara tak percaya. Darimana lelaki itu tahu kalau Ina suka es krim.
"Mau enggak?"
"Enggak, makasih. Gue bisa pulang sendiri."
Bara mengangguk mengerti. "Yaudah, gue duluan." Setelah itu Bara berpamitan pada Jelita dan Tania, tak lupa ia kembali mengucap bela sungkawa atas duka yang dirasakan oleh dua perempuan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita, Cinta dan Papa 2
RomanceNOTE : BAB CERITA INI ACAK2 AN, GAK TAU KENAPA. JADI BUAT YANG MAU BACA, KALIAN URUTIN SENDIRI AJA YA BABNYA. ISINYA BENER KOK:) *** Ini bukan lagi cerita tentang geng BBS yang terkenal di SMA Gemintang, bukan pula kisah perjuangan tiga pemimpinnya...