Bab 17

3.9K 876 188
                                    

Mau jatuh cinta sendirian atau bahkan mendapat balasan, kita akan dipukul mundur sebelum berjuang. Perbedaan keyakinan menjadi penghalang nyata yang tidak bisa ditentang.

-Kita, Cinta dan Papa 2

***

Ina keluar dari masjid, perempuan itu tersenyum tipis menatap Jefri yang hanya duduk di teras, saat ini kenyataan benar-benar membuat Ina sadar bahwa dirinya dan Jefri berbeda. Lelaki itu tidak salat, ia hanya menunggu Ina.

"Udah?" Jefri menoleh ketika Ina mengambil tempat di sampingnya.

Ina mengangguk, ia menatap sekilas pada Jefri, rambut lelaki itu sedikit basah persis habis selesai berwudu.

"Taxinya udah nunggu, mau balik sekarang?"

Lagi-lagi Ina hanya mengangguk, ia ikut berdiri bersamaan dengan Jefri.

Jefri menyugar rambutnya, ia menghentikan langkah seraya fokus pada Ina. "Lo kenapa sih? Kek jadi pendiam gitu?"

"Biasa aja, perasaan lo doang kali."

"Gue juga ngerasa kalau belakang ini lo sengaja menghindar dari gue. Kenapa? Lo enggak nyaman temenan sama orang yang punya perasaan lebih ke lo?"

Ina menggelang pelan. "Enggak gitu Jef."

"Terus apa? Oh gue tau, apa jangan-jangan lo takut jatuh cinta sama gue? Makanya berusaha menghindar." Jefri menebak, sontak saja hal itu membuat Ina diam sejenak.

"Dih apaan sih lo, mending kita balik sekarang sebelum gue ditelepon abis-abisan sama bokap," ujar Ina, ia segara memasuki taxi yang sudah menunggu. 

"Kalau lo udah jatuh cinta sama gue, kita bisa berjuang sama-sama." Jefri duduk di samping Ina, tetapi tatapannya fokus ke depan. "Jalan Pak!"

Ina menghela napas. "Mau jatuh cinta sendirian atau bahkan mendapat balasan, kita bakal dipukul mundur sebelum berjuang." Perempuan itu berujar pelan, tetapi ucapannya masih mampu di dengar oleh Jefri.

"Lebih baik begitu daripada enggak sama sekali."

"Lebih baik enggak sama sekali daripada harus memulai sesuatu yang sulit menemukan ujungnya."

Kali ini Jefri menoleh ke arah Ina, lelaki itu tersenyum tipis. Dari ucapan yang dikatakan Ina, ia tahu kalau perempuan itu mulai jatuh cinta dengannya. Hanya saja perempuan itu takut mengakui karena mengingat fakta yang ada bahwa mereka pasti sulit jika ingin bersama.

"Jangan pura-pura melupakan fakta kalau kita berbeda Jef."

"Kalau dengan pura-pura bisa bikin gue tenang, kenapa enggak?"

"Ketenangan sementara."

Jefri terkekeh. "Cukup In."

Ina menghela napas, perempuan itu memejamkan mata. Sepertinya apa Jefri katakan benar adanya, bahwa ia telah jatuh cinta pada lelaki itu. Tetapi bagaimana perasaannya pada Amar? Bahkan Ina sendiri tidak mengerti dengan apa yang sedang ia rasakan. Layaknya berada di sebuah persimpangan jalan, bingung untuk menentukan tujuan mana yang akan membuatnya sampai pada titik yang dicari.

"Percayalah, bahwa gue akan kembali pada tempat dimana hati gue telah tinggal. Dan itu ada di lo, In. Semoga sekarang sampai nanti tetap begitu, semoga takdir membawa kita pada tujuan yang satu."

Kalimat yang pernah Amar ucapkan dulu hadir begitu saja dipikiran Ina. Lalu sekarang apa, apakah ia harus mencoba untuk tetap yakin dengan ucapan lelaki itu?

Kita, Cinta dan Papa 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang