Selepas asar Ina sudah sampai di rumah, perempuan itu telah membersihkan diri serta menunaikan salat. Menghabiskan waktu bersama Bara ternyata menyenangkan, lihatlah Ina mulai bisa berdamai dengan rasa kehilangannya terhadap kepergian Jefri. Belakangan ini ia lebih banyak bersama Bara, lelaki itu membawa Ina mengunjungi banyak tempat.
Sekarang Ina sedang asyik memandang sebuah penangkap mimpi yang kemarin Bara berikan, cantik sekali dengan warna ungu muda.
Lamunan Ina tersentak ketika seseorang mengetuk pintu kamarnya.
"Kenapa Una?" Ina malas beranjak, ia hanya berteriak tanpa sedikitpun berubah posisi duduknya.
"Dilan mau ngomong sama lo!"
"Lah? Penting?"
"Mana gue tau." Seiring dengan kalimat itu Una membuka pintu yang memang tidak dikunci.
"Malas banget asli, mager."
"Ish bentaran doang ayo, Dilan udah nunggu tuh dibawah."
"Iya-iya." Dengan malas Ina beranjak, mengambil jilbab instan lantas mengenakannya secara asal.
"Ada apa sih tumben banget?" Ina penasaran, ia bertanya seraya menuruni tangga bersama Una.
"Mana gue tau, samperin aja!"
"Iya-iya ah!"
Setibanya di ruang keluarga, Dilan ada di sana. Hanya sendirian karena Agatha sedang tidak enak badan di kamar sementara Andra belum pulang dari kantor.
Ina duduk di kursi depan Dilan diikuti juga oleh Una. "Kenapa Lan?"
Dilan berdehem pelan sebelum bicara. "Tadi kamu ketemu sama Abang Vero, kan?"
Ina mengangguk pelan. "Kenapa emang?"
"Menurut kamu dia orangnya gimana?"
Kening Ina berkerut, bingung karena tiba-tiba Dilan menanyakan perihal Vero. Lelaki yang sudah lama sekali tidak Ina temui, entah dimana keberadaannya setelah lelaki itu lulus sekolah menengah pertama.
"Saya udah lumayan lama sih kenal sama dia, Vero langganan di kafe saya." Dilan berbicara lagi karena Ina hanya diam.
"Terus apa hubungannya sama gue?"
"Ada lah, lo 'kan kenal sama dia." Una yang menjawab.
"Ya terus?"
Dilan menghela napas pelan, merubah posisi duduknya agar lebih nyaman. "Jawab pertanyaan saya tadi."
"Setau gue sih Kak Vero orangnya baik, peduli sama orang."
"Hal yang kamu kagumi dari dia, dulu."
Ina berpikir sejenak, mencoba mengingat-ingat. "Dia rajin salat, dulu gue sering liat dia di musala sekolah. Anaknya juga sopan banget, tapi kekaguman gue luntur gitu aja ketika dia ngajak gue pacaran."
"Kalau dia ngajak kamu nikah?"
Ina tersedak tawa, perempuan itu menggelang sambil berdecak. "Yakali pas SMP ngajak nikah, ngaco lo!"
"Maksud saya sekarang Inara, dalam waktu dekat ini gitu."
"Sekarang? Dia ngajak gue nikah? Enggak mungkin lah. Gue enggak ngerti deh arah pembicaraan lo kemana. Sebenarnya ada apa, kenapa tiba-tiba lo bahas Kak Vero, tanya-tanya tentang dia?"
Lagi-lagi Dilan menghela napas, wajar jika Ina bingung dan merasa aneh karena dirinya tiba-tiba saja membahas Vero. "Seandainya dia ngelamar kamu, kamu mau enggak?"
Ina mengedikkan bahu. "Enggak tau, kan cuma seandainya enggak beneran."
"Gini Na." Kali ini Una yang bicara, ia menghadap penuh ke arah kembarannya itu. "Seandainya ada orang yang ngelamar lo, pasti nih. Lo mau enggak? Atau malah lo mau nunggu orang yang lo mau tapi itu enggak pasti sama sekali."
Ina diam sejenak memikirkan jawaban untuk pertanyaan Una. "Tergantung siapa yang datang. Gue enggak bisa jawab iya, atau enggak kalau orangnya belum ada. Allah maha membolak-balikkan hati manusia, pastinya Allah juga yang akan meyakinkan hati gue untuk menerima seseorang itu."
"Vero pengen ngelamar kamu katanya." Dilan langsung to the poin, malas memperpanjang pembicaraan.
Mulut Ina setengah terbuka, ia mengerjap tak percaya. "Yang benar aja lo?" Pertanyaan Ina dibalas anggukan mantap oleh Dilan.
Ina mengatur napas seraya mengusap dadanya, menenangkan diri.
"Ya gitu deh, yang pengen langsung nikah aja. Tapi giliran ada yang mau lamar panik." Una terkekeh kecil, ia menepuk pelan pundak Ina.
"Kapan dia bilang, Dilan?" Ina tidak tenang, belum apa-apa tangannya sudah terasa dingin dengan jantung yang berdetak lebih cepat.
"Tadi, katanya perasaan dia ke kamu masih ada. Setelah ditolak sama kamu dulu, dia enggak pernah pacaran lagi. Dan sekarang kalian ketemu lagi, dia menganggap kalau semua ini bukan kebetulan melainkan rencana yang telah Allah siapkan. Dia kayak dikasih jalan buat berjuang lagi dapetin kamu, datang dengan versi yang lebih baik dan pengen menjemput kamu dengan cara yang juga baik." Dilan menjelaskan apa yang dikatakan Vero sewaktu di kafe tadi, sedikit banyaknya Dilan mengenal Vero, jika Ina bersedia, Dilan sangat mendukung.
Menurut Dilan, Vero laki-laki yang baik.
Ina masih syok dengan penuturan Dilan. "Beneran gitu."
"Iya Na. Saya tau untuk memutuskan hal ini enggak akan cukup kalau cuma sehari dua hari, maka dari itu saya minta kamu untuk mempertimbangkan, kalau kamu berkenan maka pikirkan ini matang-matang. Minta pendapat juga sama Papa, Mama."
Ina menghela napas panjang. "Gue akan terima dia kalau dia beneran datang, dan berani minta gue ke Papa."
"Amar gimana? Lo udah enggak mengharapkan dia lagi 'kan?"
Ina diam, tidak bisa menjawab pertanyaan yang Una ajukan.
***
Nah lo, gimana nih?
Kabur ah
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita, Cinta dan Papa 2
RomanceNOTE : BAB CERITA INI ACAK2 AN, GAK TAU KENAPA. JADI BUAT YANG MAU BACA, KALIAN URUTIN SENDIRI AJA YA BABNYA. ISINYA BENER KOK:) *** Ini bukan lagi cerita tentang geng BBS yang terkenal di SMA Gemintang, bukan pula kisah perjuangan tiga pemimpinnya...