Bab 35

2.3K 630 86
                                    

Di luar hujan cukup deras, terdengar menenangkan karena tanpa kilat dan petir. Sesekali angin bertiup kencang menimbulkan suara antara pepohonan yang bergesekan dengan atap rumah. Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam, wajar jika Ina belum mengantuk. Perempuan itu telah mematikan lampu kamar, menggantinya dengan lampu tumblr kuning yang menempel di dinding, sengaja dibentuk memanjang untuk menjepit foto polaroid milik Ina.

Ina bangun dari berbaringnya, duduk bersila di kasur seraya menatap jendela yang gordennya belum di tutup. Di luar gelap, samar-samar terlihat tetes deras hujan yang berjatuhan.

Setelah kepergian Jefri, seperti ada yang hilang. Ina menyadari satu hal bahwa ia benar-benar menyayangi lelaki itu lebih dari seorang teman, ia telah jatuh cinta, namun terlambat. Perbedaan keyakinan membuat Ina membohongi perasaannya sendiri, terus-menerus menampik terhadap apa yang ia rasakan pada Jefri. Selalu berusaha menyakinkan diri bahwa ia tidak memiliki perasaan apa-apa dengan dalih ia mencintai Amar. Sudah ada Amar, faktanya lelaki itu hanya Ina jadikan objek pelarian untuk menolak perasaannya terhadap Jefri. Atau mungkin Ina memang mencintai dua orang dalam satu waktu. Bisa kah begitu?

Ini bukan lagi perihal pilihan, karena memang tidak ada yang harus dipilih. Sepertinya Ina memang harus berdamai dengan kenyataan, menerima segala ketetapan yang telah Allah berikan. Jefri pergi, Amar juga begitu, hanya saja kepergian mereka berbeda, Jefri tak lagi kembali sementara Amar bisa datang kapan saja, tidak menutup kemungkinan juga kalau ia juga akan pergi sama seperti Jefri dan beberapa saat yang lalu adalah pertemuan terakhir mereka.

Ina menghela napas pelan, sekarang ia sudah berada dalam fase pasrah. Terserah Allah saja, bagaimana baiknya Allah saja. Dia sebaik-baik perencana, tidak pernah salah mengatur alur kehidupan manusia. Ina hanya perlu percaya bahwa segala ketetapan dari-Nya baik, sudah itu saja. Ikhlas menerima, jalani apa yang ada. Kita tidak pernah bisa menebak suguhan semesta yang terkadang mengejutkan sekaligus memberi kejutan. Apalagi perihal jodoh, tidak bisa diterka. Pertemuan dua insan manusia untuk sampai pada ikatan suci sudah diatur, tertakar dan tidak mungkin tertukar.

Lihat saja endingnya, ada yang menikah dengan tetangga, teman kerja, teman lama, teman kuliah atau bahkan orang asing yang tiba-tiba datang tak diduga. Kalau dipikir-pikir, orang yang lingkup pergaulannya kecil, tidak punya pacar, tidak punya gebetan, tidak ada teman chat, dan tidak dekat dengan siapapun, mau dapat jodoh lewat jalur apa? Bakal nikah sama siapa? Kayak enggak ada pelung gitu. Kalau memakai logika memang susah menemukan jawabannya, tetapi ini masalah kuasa Allah yang begitu luar biasa mengatur skenario hidup manusia.

Ina memejamkan mata sejenak, ia tidak boleh terpengaruh pada dua saudaranya yang telah menikah, yang berakhir membuat dirinya kepikiran akan menikah dengan siapa. Akankah menikah atau tidak, mengingat tidak ada titik terang untuk kisah percintaannya.

Dering ponsel menyentak Ina dari lamunan, ada panggilan dari Amar.

Ina langsung menerima telepon, menempelkan benda pipih itu di telinga seraya menekuk kedua kakinya sejajar dada.

"Assalamualaikum." Suara khas milik Amar menyapa pendengaran Ina.

"Wa'alaikumussalam, kenapa?"

"Enggak ada apa-apa."

Setelah kalimat itu, Ina dan Amar tidak ada yang bersuara. Semenit berlalu, Ina menatap layar ponselnya untuk memastikan panggilan masih terhubung atau tidak.

"Kenapa telepon kalau enggak ada apa-apa." Akhirnya Ina buka suara lebih dulu.

"Gue cuma mau memastikan kalau kalau lo baik-baik aja."

"Kalau mau tau kabar, langsung tanya. Jangan diam aja."

Amar terkekeh kecil, tapi tak berbicara lagi setelah itu.

"Mau dimatiin aja teleponnya?"

"Jangan!"

Ina menghela napas pelan, ia menunggu Amar berbicara lagi.

"Sedihnya jangan lama-lama. Waktu akan membuat lo beradaptasi atas kehilangan ini." Suara Amar menenangkan, memang selalu begitu. Andai bertatap muka langsung dengan lelaki itu, pasti tatapan matanya sangat meneduhkan. Siapapun ingin berlama-lama menikmati pandangan yang Amar punya.

"Cara merayakan kesedihan kayak apa sih?"

"Ikhlas."

"Lo pasti tau kalau itu perlu waktu?"

"Iya, waktu juga enggak akan buat kita benar-benar pulih sebenarnya. Tetapi waktu mampu membuat kita terbiasa. Setiap orang pasti akan mengalami kehilangan, cuma perihal waktu. Dan gue udah pernah mengalami itu, ditinggal sama Bapak. Itu hal paling menyakitkan, Na. Kehilangan orang tua."

Tanpa direncanakan, air mata Ina jatuh begitu saja.

"Hidup terus berjalan. Yang pergi biarlah pergi, yang masih ada jaga segenap jiwa."

"Mar."

"Iya?"

"Lo harus bahagia, ya? Wujudin segala impian lo, kejar cita-cita lo."

Tanpa Ina ketahui, Amar tersenyum diseberang sana. "Tugas gue saat ini jagain Ibu, berusaha membahagiakan Ibu. Kalau Ibu bahagia, berarti cita-cita gue terwujud."

"Semangat, ya."

"Lo juga. Enggak usah memikirkan sesuatu yang enggak harus dipikirkan. Katanya sih, cewek itu sering banget over thinking, isi kepalanya lebih berisik dari keramaian pasar malam." Amar tertawa di akhir kalimatnya.

Ina ikut tertawa, perempuan itu menghapus jejak air mata di pipinya.

"Yaudah, tidur sana. Jangan begadang."

"Iya, gue matiin ya teleponnya?"

"Iya." Setelah itu Ina mematikan sambungan telepon. Perempuan itu merebahkan diri seraya menarik selimut sebatas leher, bersiap untuk tidur.

Namun, belum sempat layar ponsel itu mati, satu pesan masuk membuat Ina kembali meraih benda pipih itu.

Pesan dari nomor yang tidak Ina simpan.

Na, save balik, ya. Bara

Chat dari gue enggak usah dibalas, lo tidur aja sekarang. Sedihnya jangan lama-lama, ya.

***

Maaf, ilangnya kelamaan:)

Kaburrr

Terima kasih karena membaca cerita ini💙

Kita, Cinta dan Papa 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang