Bab 16

4.1K 878 143
                                    

Cintailah sewajarnya, karena yang hadir belum tentu takdir.

-Lord Fahri-

***

Usia kandungan Una sudah memasuki minggu ke empat, dokter memberi banyak masukan untuk perempuan itu agar janinnya selalu sehat. Una diminta untuk senantiasa memakan makanan yang bergizi seimbang, menjauhi asap rokok serta menjaga diri dari aktivitas yang berat, usia kehamilan yang masih muda sangat rentan.

"Abis ini kita mampir ke mini market buat beli susu ibu hamil," ujar Dilan, ia dan Una berjalan beriringan di koridor rumah sakit.

"Iya."

"Beli buah sama sayur juga, kamu harus rajin makan sayur. Harus belajar suka sama makanan yang biasa kamu sebut 'dedaunan itu'."

Una menghela napas. "Iya." Perempuan itu menanggapi seadanya, belum apa-apa suaminya itu sudah bawel.

"Terus juga kamu harus..."

"Udah Sayang, aku tau." Una memotong ucapan Dilan, perempuan itu tersenyum tipis.

"Saya pingin ingetin lagi aja."

"Aku ingat kok, dokter udah kasih penjelasan yang jelas banget tadi. Kamu tenang aja."

Dilan mengangguk mengerti. "Oke, intinya kamu harus ingat terus pesan dokter tadi."

"Iya Dilan Danugraha."

Dilan terkekeh, lelaki itu menggandeng tangan Una. Mereka  berhenti sejenak ketika bertemu dengan Dokter Gana, seorang dokter yang memang sudah dikenal baik oleh Dilan dan Una.

"Habis check up, Dilan?"

"Iya Dok, sekalian menemani isteri saya cek kandungan," ujar Dilan diiringi senyuman.

"Masyaallah, Una hamil? Udah berapa bulan?" Kali ini fokus Dokter Gana beralih pada Una yang berdiri di samping Dilan.

"Iya Dok, alhamdulillah. Baru satu bulan."

"Jaga kesehatan ya, usia kandungan kamu masih sangat muda." Ucapan Dokter Gana diangguki oleh Una,  setelahnya lelaki itu menatap Dilan. "Siap-siap jadi suami siaga, banyakin sabar menghadapi perempuan hamil."

Dilan terkekeh. "Siap Dok."

"Oh iya, Kak Sefia udah lahiran?"

"Belum Un, perkiraan udah enggak lama lagi sih. Kayaknya dalam minggu ini udah siap, doain aja semoga semuanya lancar."

"Aamiin." Dilan dan Una kompak mengamini ucapan Dokter Gana.

"Yaudah kalau gitu saya duluan, kalian hati-hati pulangnya." Dokter Gana berpamitan, sebelum pergi ia menepuk pelan pundak Dilan.

***

Ina memejamkan mata, ia tenang mendengarkan lantunan Asmaul Husna lewat earphone yang ia bawa. Perempuan itu sudah tidak peduli lagi pada sekitar, bahkan ia sampai tidak sadar kalau Jefri telah duduk di sampingnya.

Jefri tersenyum, tanpa sepengetahuan Ina ia bisa puas menatap wajah perempuan itu. Jefri sengaja naik bus karena Ina menolak ketika ia ajak pulang bersama.

Dengan gerakan hati-hati Jefri mengarahkan ponsel ke arah Ina, ia berhasil mengambil foto perempuan itu, sontak saja Jefri tersenyum dibuatnya. Ini entah kali keberapa ia mencuri Ina untuk dijadikan objek foto yang ia ambil.

Jefri bersandar di kursi, ia mengamati hasil jepretannya. Ina terlihat sangat cantik dalam foto itu dengan mata yang terpejam, tampak damai sekali.

Jefri tersentak, ia menoleh ketika kepala Ina jatuh di pundaknya. Ternyata perempuan itu tertidur.

Lagi-lagi Jefri tersenyum. Seandainya bisa menghentikan waktu, sungguh lelaki itu akan melakukannya sekarang juga.

Lima belas menit berlalu, Jefri menikmati bus yang melaju dengan Ina yang masih tertidur bertopang kepala di pundaknya. Sesaat kemudian bus berhenti di sebuah halte, tetapi Jefri tidak ada keinginan untuk turun atau bahkan membangunkan Ina.

"Mas, Mbaknya enggak turun? Biasanya Mbak itu turun di sini." Sopir bus menatap Jefri, ia memang sudah familiar dengan perempuan yang berada di samping lelaki itu.

"Halte berikutnya, Pak," ujar Jefri.

Sopir itu menurut saja, bus kembali melaju meninggalkan halte yang letaknya tidak jauh dari rumah Ina.

Sekian menit kemudian Ina terbangun dari tidurnya tetapi ia masih bertahan dengan posisi yang sedari tadi membuatnya tertidur pulas. Perempuan itu mengerjap bingung, ia masih mengumpulkan kesadaran.

"Gue rasa lo nyaman bersandar di pundak gue."

"Heh!" Tak sadar Ina memekik, Seketika saja perempuan itu menegakkan posisi duduknya, ia menjauh dari Jefri.

"Sttt." Jefri meletakkan jari telunjuk di bibir. "Ntar yang lain keganggu."

Ina menormalkan mimik wajahnya, ia berusaha menenangkan diri. "Sejak kapan lo ada di sini?"

"Sesaat sebelum bus berangkat."

"Kok bisa sih gue enggak sadar?"

Jefri mengedikkan bahu, setelahnya lelaki itu terkekeh kecil. "Gimana?"

Kening Ina berkerut. "Gimana apanya?"

"Pundak gue nyaman 'kan buat dijadikan sandaran?"

"Ish, itu enggak sengaja tau!" Ina memalingkan wajah, mendadak malu. Bagaimana bisa ia tidur begitu lelap di pundak Jefri?

"Udah, lupain aja."

Ina menghela napas, ia memperhatikan ke luar jendela. "Eh ini kok?"

"Rumah lo udah lewat kali."

"Hah? Terus gimana? Kenapa lo enggak bangunin gue sih?"

"Enggak tega." Jefri menjawab santai.

"Terus sekarang gimana?"

"Bentar lagi kita turun, di halte depan sana. Santai aja, gue antar balik."

Ina mengembuskan napas kasar. "Ini definisi mempersulit hidup namanya Jef."

Jefri hanya membalas ucapan Ina dengan kekehan. Setelah bus berhenti, ia dan Ina segara turun.

"Bukannya tadi ke kampus lo bawa motor? Kenapa malah naik bus? Terus sekarang lo mau nganterin gue naik apa?" Ina melontarkan pertanyaan beruntun pada Jefri.

"Ini nih, pinter dikit dong Inara. 'kan kita bisa pesan taxi online."

Ina menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Iya, ya."

"Iyalah!"

Jefri sibuk dengan ponselnya, ia akan memesan sebuah taxi untuk pulang. Setelah selesai dengan aktivitasnya ia menatap Ina. "In, azan tuh. Kita mampir ke masjid dulu yuk, pasti lo mau salat 'kan?"

Ina diam sejenak, setelahnya ia mengangguk.

Sementara itu ditempat lain, Haydar sedang fokus dengan ponselnya.  Sesekali lelaki itu terkekeh ketika melihat tingkah konyol yang dilakukan kedua buah hatinya, baru saja Ana mengirimkan sebuah vidio kepada Haydar.

"Kak Haydar, awas!"

Bugh

Haydar tersentak saat seseorang mendorongnya, ponsel dalam genggamannya terlempar bersamaan dengan dirinya yang terjatuh di aspal. Hampir saja ia tertabrak sebuah motor yang melaju cukup kencang, sedari tadi lelaki itu terlalu asyik dengan ponsel sampai-sampai ia tidak memperhatikan jalan.

Napas Haydar memburu, ia menatap seseorang yang tergeletak di jalan. "Anye!"

***

Gimana sama bab ini?

Coba kasih kata-kata sad kalian buat Jefri:(

Jangan lupa tinggalkan vote dan komentar💙

Terima kasih karena sudah membaca cerita ini💙

Kita, Cinta dan Papa 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang