Bab 21

3K 749 89
                                    

Melangkah menuju kebaikan terkadang memang harus dipaksa, agar bisa, lantas akan terbiasa.

-Kita, Cinta dan Papa 2-

***

Hari demi hari Haydar dan Anye semakin dekat saja, keduanya benar-benar berteman. Sikap Anye pada Haydar sudah berubah, perempuan itu tidak lagi menunjukkan sikap ingin memiliki Haydar, ia berteman dengan tulus.

"Kapan-kapan Anye pengen deh ketemu sama istri Kakak," ujar Anye, perempuan itu mengeluarkan dua kotak makan dari dalam paper bag yang ia bawa.

"Bisa, nanti lo boleh ikut ke rumah gue." Haydar berujar santai, lelaki itu meraih satu kotak makan yang baru saja Anye letakkan di meja. "Apa nih?"

Anye tersenyum antusias. "Wah enggak sabar, Anye pengen main sama anak Kakak."

"Nye, ini apa?" Haydar mengulang pertanyaannya.

"Oh itu, nasi goreng buat Kakak. Anye sengaja masak loh."

Haydar tersenyum tipis. "Makasih."

"Sama-sama, Kak. Ayo makan sekarang." Anye bersiap menyantap makanannya, sebelum itu ia telah memesan satu gelas teh manis.

"Boleh gabung enggak?"

Anye dan Haydar serempak menatap ke arah sumber suara, Bara berdiri di samping meja mereka.

Anye mempersilakan sementara Haydar hanya diam, pikiran lelaki itu mulai menerka-nerka mengapa Bara tiba-tiba ingin duduk satu tempat dengannya.

"Kak Haydar tau enggak sih, kalau Kak Bara ini Kakak kelas Anye waktu di sekolah dulu." Anye mulai bercerita, berusaha mencairkan suasana.

"Oh." Haydar hanya merespon seadanya.

Bara berdehem canggung, lelaki itu menyamankan posisi duduknya. "Dar."

Haydar menatap Bara dengan tatapan bertanya.

"Gue minta maaf, gue sadar kalau selama ini gue membenci lo tanpa hal mendasar." Ucapan Bara serius, ia tulus. Lelaki itu banyak merenung setelah menemui Anye di rumah sakit beberapa waktu yang lalu.

Tanpa direncanakan, Haydar tersenyum. Jujur saja ia juga sudah merasa lelah atas permusuhan dengan Bara yang seolah tidak berujung padahal seharusnya tidak ada masalah yang harus dipermasalahkan karena apa yang terjadi terhadap orang tua mereka bukan keinginan keduanya, pun tidak bisa dikendalikan semaunya.

"Gue juga minta maaf." Haydar menepuk pelan pundak Bara.

Bara menghela napas lega, sebagian beban dalam dirinya seolah menguap begitu saja.

Anye tersenyum melihat dua lelaki di depannya, ia senang Bara dan Haydar bisa saling memaafkan. "Udah ya, enggak usah ada perang dingin lagi."

"Ini semua karena lo kali."

"Karena Anye?" Haydar bertanya bingung.

Bara terkekeh. "Iya, kemarin gue diceramahi sampai sadar."

Haydar mengacungkan jempol tangannya ke arah Anye. "Mantap."

"Sip Kak! Mending sekarang kita makan yuk." Anye beralih menatap Bara. "Kak Bara pindah ke samping gue. Karena gue cuma bawa dua bekal, jadi Kak Bara makan berdua sama gue, oke?"

"Gue bisa pesan makan padahal, tapi kapan lagi 'kan gue cobain masakan lo," ujar Bara seraya berpindah ke samping Anye, ia menerima tawaran perempuan itu dengan senang hati.

"Iyalah, Kak Haydar udah dua kali cobain masakan gue, enak 'kan Kak?"

Haydar mengangguk saja, ia lahap menyantap nasi goreng di depannya.

"Dari dulu sebenarnya gue sebel sih Kak sama lo, tapi sekarang kalau lo mau temenan sama gue boleh banget kok. Temenan sama gue banyak untungnya, gue bakal sering masak buat lo. Mau enggak?"

"Hmm, oke."

"Kak Bara!" Anye berdecak kesal, gara-gara keasyikan berbicara ia sampai tidak sadar kalau Bara sudah hampir habis melahap bekal miliknya.

***

Jefri menarik napas sebelum mengetuk pintu di depannya. Setelah sekian menit menunggu, pintu terbuka menampilkan seorang perempuan yang sudah Jefri kenal sebelumnya.

"Halo Tante." Jefri tersenyum, ia menangkup tangan di depan dada.

"Halo, ada perlu apa?" Agatha bertanya ragu, pasalnya Jefri bertamu seperti tak kenal waktu. Sebentar lagi magrib.

"Maaf kalau saya menganggu, saya cuma mau kasih ini buat buka puasa." Jefri mengangkat kantong kresek yang ada di tangannya.

"Buka puasa?" Lagi-lagi Agatha merasa bingung, tetapi ia menerima saja apa yang Jefri berikan.

"Iya Tante, hari ini 'kan hari senin saya tau kalau biasanya Ina puasa, jadi saya sengaja beliin dia es kelapa muda buat berbuka, dia suka banget es kelapa muda 'kan Tante?"

"Oh iya, terima kasih ya Jef." Agatha tersenyum.

"Sama-sama Tan, itu juga ada buat Om Andra sama Tante."

"Makasih banget, enggak usah repot-repot padahal."

"Sama sekali enggak ngerepotin kok Tante."

"Yaudah, masuk yuk ikut buka puasa bareng."

Jefri menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, setelahnya lelaki itu terkekeh canggung. "Tapi saya enggak puasa Tante."

"Enggak apa-apa, ayo." Agatha membuka pintu lebar-lebar. "Ayo Jef."

Setelah diam sejenak akhirnya Jefri mengangguk, lelaki itu mengikuti langkah Agatha memasuki rumah. Sesampainya di depan meja makan ia mendapati Ina dan Andra, anak dan ayah itu belum menyadari kehadiran Jefri karena mereka asyik berbincang.

"Kita ada tamu nih." Ucapan Agatha sontak membuat obrolan Andra dan Ina terhenti, keduanya kompak menatap Jefri yang berdiri di samping Agatha.

"Loh kok?" Ina kebingungan sementara Andra diam saja, lelaki itu hanya menyuguhkan senyuman tipis.

"Jefri sengaja ke sini, dia bawa es kepala muda buat kita." Agatha menjelaskan tanpa di minta. "Duduk Jef," titahnya.

"Makasih Tante." Jefri tersenyum, ia hampir saja duduk di samping Ina sebelum Andra mengintrupsi dirinya.

"Kamu duduk sini Jef," ujar Andra seraya menarik kursi di sampingnya.

"Iya Om." Jefri menurut, lelaki itu duduk di samping Andra dengan rasa canggung yang sangat kentara. Ia jadi menyesal menerima ajakan Agatha, ternyata sekaku ini.

Agatha menghidangkan es kelapa yang tadi Jefri bawa, sesaat kemudian azan magrib berkumandang.

Jefri diam memperhatikan bagaimana Ina dan kedua orang tuanya berdoa sebelum menyantap makanan yang telah tertata rapi di meja. Terlihat sekali perbedaannya, disaat Jefri menggenggam kedua tangan, perempuan di depannya membuka seraya menengadahkan tangannya.

"Ayo Jef makan, enggak usah sungkan." Andra buka suara.

"Iya Om, makasih."

"Tante ambilin ya," ujar Agatha seraya mengambil nasi serta lauk pauk untuk Jefri.

Jefri terkekeh ketika Agatha terlihat bersemangat memintanya untuk makan. "Udah Tante, enggak usah banyak-banyak."

"Enggak usah malu-malu Jef, biasanya juga lo malu-maluin," ujar Ina, perempuan itu mengeratkan tali tudung hoodie di kepalanya.

Jefri menghela napas. "Yah, lo jangan buka kartu depan orang tua lo dong!" ujarnya dengan wajah memelas.

"Udah-udah. Jangan ngobrol terus, ayo makan." Ucapan Andra menjadi penutup pembicaraan di meja makan saat ini.

***

Hmm apa ya? Ada pesan yang ingin ditinggalkan mungkin?

Terima kasih karena telah membaca cerita ini, walau update-nya makin ngaret aja:(

Kita, Cinta dan Papa 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang