Keheningan masih menyelimuti, tiga orang yang berada di ruangan itu kompak memilih diam setelah sebelumnya berbincang banyak hal.
Jefri berdehem pelan. "In, gue balik, ya." Lelaki itu buka suara lebih dulu, ia menatap Ina yang duduk bersandar. Keadaan perempuan itu telah membaik karena sudah dua hari dirawat di rumah sakit.
Ina mengangguk, perempuan itu tersenyum tipis. "Hati-hati."
"Iya, lo cepat sembuh, ya. Gue pengen ajak lo jalan-jalan sambil makan es krim."
Kali ini Ina hanya membalas ucapan Jefri dengan senyuman, sementara Amar hanya diam memperhatikan interaksi dua orang di depannya.
"Mar, gue duluan." Jefri menepuk pelan pundak Amar sebelum berlalu pergi. Ia sudah berkenalan dengan lelaki itu, menurut Jefri, Amar orang yang menyenangkan.
"Siap, hati-hati."
"Yoi."
Amar menatap kepergian Jefri sampai lelaki itu hilang di balik pintu, setelahnya ia fokus pada Ina. Sedari tadi Amar lebih banyak berbincang dengan Jefri daripada dengan Ina, perempuan itu lebih banyak diam.
Sekian menit berlalu Amar tak juga berbicara, begitu juga dengan Ina. Pada dasarnya mereka sangat canggung, hanya saja tadi ada Jefri yang mampu mencairkan sedikit suasana.
"Mau diam-diaman aja?"
Amar terkekeh kecil mendengar ucapan Ina. "Bingung mau ngomong apa."
Ina menghela napas pelan. "Yaudah balik aja sana, ngapain ke sini?"
"Oke." Amar berdiri dari duduknya, bersiap untuk pergi.
"Amar!"
Amar menoleh, ia menghentikan langkah. "Iya?"
"Jangan..."
"Jangan apa?"
"Jangan pergi." Ina berujar pelan, perempuan itu menunduk dalam. Ia gengsi, tetapi rasa rindunya pada lelaki itu membuat Ina mampu menahan kepergian Amar. Harapan-harapan yang mulai hilang seakan tumbuh lagi ketika ia kembali bertatap muka dengan lelaki itu.
Amar tersenyum, ia kembali duduk di kursi. "Kangen, ya sama gue?"
Ina melotot, tidak percaya dengan pertanyaan yang Amar lontarkan. "Dih, percaya diri banget." Perempuan itu membuang muka untuk menghilangkan kegugupan.
Amar terkikik geli melihat tingkah Ina, perempuan di depannya menggemaskan sekali. Lelaki itu tidak bisa menahan diri untuk tidak mengusap puncak kepala Ina sampai jilbab yang perempuan itu kenakan berantakan
Jantung Ina berdegup kencang mendapati perlakuan sederhana itu. Amar masih sama seperti dulu, selalu mampu membuat Ina salah tingkah. Jilbab gue yang diacak-acak, kenapa hati gue yang berantakan, si!"
"Maaf..."
"Iya, enggak apa-apa," ujar Ina seraya merapikan jilbabnya.
Amar berdehem canggung, lelaki itu mengacak pelan rambutnya.
"Mar, gue mau tanya sesuatu boleh enggak?"
"Barusan lo tanya."
Ina berdecak pelan. "Enggak gitu konsepnya!"
Amar tertawa. "Boleh kok, mau tanya apa hmm?"
"Itu loh, anu..."
"Anu? Apasih? Yang jelas dong." Amar kebingungan dengan ucapan Ina yang ambigu.
"Lo aja enggak mampu kasih kejelasan." Ina berujar pelan tetapi masih mampu di dengar oleh Amar.
"Gue denger."
"Lupain."
Amar tersenyum samar. "Yaudah, mau tanya apa tadi?"
"Gimana keadaan ibu lo?" Sebenarnya bukan hal itu yang ingin Ina tanyakan, jujur saja ia masih penasaran dengan perempuan yang bersama Amar tempo hari, tetapi Ina urung untuk menanyakan hal itu. Merasa tidak berhak sama sekali.
"Alhamdulillah baik, walaupun sekarang lebih sering sakit daripada sehat."
"Terus dia sama siapa sementara lo di sini?"
"Ada kok, ditemani sama Bude."
"Alhamdulillah kalau gitu, nanti sampaikan salam gue ke Ibu lo, ya."
"Siap, Inara!"
Ina tersenyum hingga lubang di kedua pipinya terlihat, melihat hal itu Amar jadi terpikat. Matanya tak lepas menatap perempuan itu.
"Udah tatap-tatapannya?"
Amar dan Ina serempak menatap Andra yang baru saja memasuki ruangan.
"Om." Amar berdiri, ia menjauh dari Ina.
"Kamu diajak makan sama Dilan, samperin dulu sana."
"Iya, Om. Saya pamit kalau gitu." Amar pergi setelah mengucap kalimat itu.
Perhatian Andra tertuju pada Ina. "Hati aman? Atau penuh dengan harapan-harapan kepalsuan?"
"Papa!"
Ditempat lain, Jefri baru sampai ke rumah. Dua hari sudah ia selalu ke rumah sakit setelah pulang dari kampus. Musibah yang Ina alami membuat Jefri kembali dekat dengan perempuan itu, prosesnya untuk mencoba melupakan gagal total.
"Bagaimana keadaan Inara?" Tania bertanya ketika Jefri datang.
"Puji Tuhan, sudah baikan," jawabnya seraya duduk di samping sang Ibu.
"Mama senang mendengarnya. Nanti, Mama pengen jenguk."
Jefri mengangguk saja, lelaki itu menyandarkan kepala di pundak Tania. "Ma, Jefri sayang sama Ina."
Kening Tania berkerut bingung. "Sayang? Gimana maksudnya?"
"Pengen serius sama dia."
Tania diam sejenak, lantas mengelus pelan punggung Jefri. "Dia 'kan muslim."
Jefri terdiam mendengar ucapan Tania, hanya helaan napas panjang yang keluar dari mulutnya.
***
"Makasih atas informasi yang lo kasih ke gue. Berkat lo, gue tahu gimana hubungan Haydar sama Anye."
Bara tersenyum tipis. "Sama-sama."
"Yaudah, gue duluan." Ana keluar dari mini market, perempuan itu hanya tak sengaja bertemu dengan Bara di sana. Iya, Bara adalah orang yang membuat Ana tahu kalau pertemanan Haydar dan Anye tidak wajar.
Entah apa tujuan Bara memberitahu itu semua, Ana tidak tahu.
Semenjak kejadian di mobil waktu itu, ketika Anye menelpon Haydar, hubungan Ana dan Haydar masih dingin. Perempuan itu terlanjur sakit hati dengan ulah suaminya itu. Haydar telah menghancurkan kepercayaan yang Ana berikan, bahkan lelaki itu berani berbohong.
Haydar perlu diberi pelajaran atas kesalahan yang ia lakukan, biarlah seperti ini dahulu. Ana sengaja menjaga jarak dengan suaminya, biar lelaki itu mampu mengintrospeksi diri.
***
Hihi maaf pendek. Tapi kangen sama Amar udah terobati kannnn?
Terima kasih karena telah membaca cerita ini💙
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita, Cinta dan Papa 2
RomanceNOTE : BAB CERITA INI ACAK2 AN, GAK TAU KENAPA. JADI BUAT YANG MAU BACA, KALIAN URUTIN SENDIRI AJA YA BABNYA. ISINYA BENER KOK:) *** Ini bukan lagi cerita tentang geng BBS yang terkenal di SMA Gemintang, bukan pula kisah perjuangan tiga pemimpinnya...