18. Aksan III

8 4 30
                                    

"Tunggu." Cegah Aksan dengan nada dingin

"Kok tiba tiba udaranya jadi dingin, mau hujan ya?" Batin Alvia sambil melihat langit yang awan hitamnya mulai muncul

"Pantesan.." Alvia mengangguk ngangukan kepala paham.

"Dadah Elan." Pamit Alvia sambil berjalan mundur menghadap Elan yang masih berdiri di atas bangku.

"Gua bilang tunggu." Ujar Aksan masih dengan nada dingin.

"Oh, ngomong sama gua ya Kak?" Tanya Alvia

"Kirain sama setan." Bisik Alvia sambil menutup mulutnya untuk menahan tawa.

"Apa hak lu nyampurin urusan pribadi gua?" Tanya Aksan sambil berbalik dengan wajah tidak mengenakan menghadap Alvia yang masih menutup mulutnya.

Alvia yang mendengar itu tersenyum miring di balik tangannya.

"Sebelum itu, apa hak lu nanya privasi gua ke temen gua?" Alvia balik bertanya.

Aksan itu orang yang tidak menyukai sebuah pertanyaan di jawab pertanyaan.

"Gua mau mainin lu." Jawab Aksan santai

Alvia melebarkan matanya yang menyipit akibat penggunaan kacamatanya. Sudah ia duga, ada yang tidak beres dengan semua ini.

"Perasaan gua bukan mainan deh." Ujar Alvia menahan sesuatu yang ingin ia keluarkan
"Kumohon, jangan marah lagi. Jangan melampiaskannya kepada orang lain, ini kesalahan mu sendiri. Jadi kumohon jangan meledak." Batin Alvia melirih. Sakit rasanya, tapi entah karena apa. Ia tahu ini kesalahannya sendiri, dan kenapa ia menjadi cengeng lagi?

"Yasudahlah," Alvia tidak ingin di kuasai oleh amarah lagi di depan orang lain. "Tapi tolong jangan buat anak kecil yang bahkan adek lu sendiri nanggung beban lu yang jadi seorang kakak. Gua dari sudut pandang adek, sakit liatnya." Lanjut Alvia lalu mengalihkan perhatiannya kepada Relan.

"Relan baik baik sama diri sendiri ya, kalau sedih ke sini aja terus main. Kalau ada waktu, Teteh bakalan ada di sini." Ujarnya sambil tersenyum lembut ke arah Relan

Namun Aksan menyadari sesuatu, itu bukan senyuman penenang untuk orang lain tapi untuk dirinya sendiri. Ada apa ini sebenarnya? Aksan bertanya pada dirinya sendiri

"Apa maksud lu, gua nanggungin beban gua ke adek gua?" Tanya Aksan. Ada hal yang harus ia ketahui saat ini.

"Entah bener apa nggak, lu pernah gagal jadi yang lu sebut 'laki laki sejati' kan?" Tebak Alvia membuat Aksan bungkam. Tahu dari mana dia

"Oke gua sadar ini terlalu privasi buat lu. Tapi, gagal sekali itu wajar, jangan buat diri lu terbebani sama kegagalan itu. Selagi lu masih hidup dan lu masih punya orang yang jadiin lu laki laki sejati, itu kayaknya lumayan buat bales kegagalan lu." Ujar Alvia

"Dan jangan buat adek lu ketakutan sama lu cuma karena kegagalan lu sendiri. Ajak dia berjalan sama lu menjadi laki laki sejati." Lanjut Alvia

Alvia tersadar sesuatu. "Sialan, kenapa gua malah ikut campur sih. Bukan urusan lu lah goblok." Ia membatin dan memaki apa yang ia lakukan saat ini.

"Ma-maaf, gua yang gak tau apa apa malah ngelantur ini itu. Lagi nahan es moci jadi gini. Kalau gitu gua duluan." Pamit Alvia kepada Aksan dan Relan. Yang peting ia pergi dulu dari urusan orang lain dan sudah meminta maaf. Bahaya jika terus terusan kayak gini.

Aksan bungkam, ia terlihat memikirkan sesuatu. Relan yang tidak mengerti turun dari bangku yang ia pijaki dan berlari menuju Alvia lalu memegang tangan kanan gadis itu.

"Sekali lagi terima kasih Teh." Ucap Relan sambil tersenyum manis

"Sama sama." Timpal Alvia

"Kalau gua gak bisa lupain kegagalan itu, gimana?" Tanya Aksan yang membuat Alvia terkejut

Game OverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang