4.

22 0 0
                                        

Mataku masih belum juga bisa terpejam. Sementara suara nafas berat dan teratur kang Kholis telah berubah menjadi dengkuran. Tidak terlalu keras namun menurutku itu sudah termasuk dalam kategori dengkuran. Aku melirik sebentar ke arah jam dinding. Masih pukul 22.00 WIB.

Aku kembali menarik nafas panjang dan memutar kembali ingatanku ketika pertama kali ke Jogja untuk mengawali perjuanganku. Langkah awal pembuktianku. Entah pembuktian untuk diriku sendiri ataupun untuk keluarga Mesa.

Di kamar hotel aku mengenakan pakaian serba putih, rok panjang warna putih polos bahan denim dan baju nyaris tanpa lengan dengan aksen cantik di bagian lengannya yang juga berbahan semi denim.

Mesa memakai kaos hitam dan juga celana jeans warna senada. Kami duduk saling berhadapan dan membicarakan banyak hal seperti kebiasaan kami ketika bertemu.

"Sa... Aku takut" ucapku sambil menatap Mesa

"Kenapa to Sa? Kamu takut apa?" tanya Mesa

"Aku takut apa keputusanku sudah benar? Kalau akhirnya aku betul-betul jadi Pramugari kamu gimana Sa? Kita gimana?" ucapku hampir menangis.

Aku memang selalu takut... Aku takut akan bisa kehilangan Mesa kalau aku harus berjauhan. Kami dekat saja rasanya sulit sekali untuk mengokohkan hubungan kami, kami tinggal satu kota saja terasa begitu sulit menjaga hubungan kami karena terbentur restu orang tua Mesa. Bagaimana nanti jika akhirnya kami harus menjalani hubungan jarak jauh. Tiba tiba aku sangat ragu pada diriku sendiri. Bukan pada kekuatan cintaku tapi apakah orang tua Mesa akan tinggal diam melihat kesempatan bahwa akhirnya kami akan terpisah jarak.

Mesa lalu menggenggam tanganku "wes to Sa... Jangan menjadi ragu... Kalau kamu ragu dan takut apalagi aku. Kamu kekuatanku Sa" ucap Mesa yg lantas mengecup keningku.

Mataku memanas... Dadaku terasa sesak. Aku tidak mau kehilangan Mesa. Tapi aku sungguh kehilangan arah... Sekali lagi aku menatap mata Mesa. Memastikan apakah masih ada cinta buat aku disana? Begitu juga Mesa dia membalas tatapanku.

Tatapan matanya tatapan yg selalu penuh pemujaan untukku, tatapan yang selalu bercahaya setiap kali melihatku. Tatapan yang rasanya tidak akan pernah aku relakan jika suatu saat mata itu memandang dengan tatapan dan cara yang sama kepada wanita lain selain aku.

"Sudah Sa... Aku juga takut, tapi aku bisa apa? Aku tahu betul bagaimana sifatmu, kamu keras kepala, tidak akan ada yg bisa menghentikan langkahmu kecuali dirimu sendiri. Jangan tanya aku... Tapi tanyalah pada dirimu sendiri. Apakah ini yang kamu mau? Bukan soal aku tapi soal pembuktianmu" kali ini Mesa mengucapkannya sambil memelukku dan membimbingku untuk tidur.

Aku tidak lagi menjawabnya secara lisan. Aku menjawab dalam hati "Selamanya alasanku melakukan ini semua ya kamu Sa... Kamu alasanku melangkah sejauh ini" air mataku mulai mengalir

Saat itu posisi kami tidur berhadap hadapan.

"Jangan menangis Sa" bisik Mesa sembari menciumi kelopak mataku.

Aku tetap diam dan tetap memejamkan mata. Tangan Mesa mengusap air mataku, lalu membelai rambutku. Dia merapatkan tubuhnya lalu menciumi keningku. Aku bisa mendengar detak jantungnya. Suasana terasa hening.

Lalu kubuka mataku. Aku kembali menatap Mesa dengan tatapan memohon, dalam hatiku berkata "Tolong, apapun yang terjadi nanti, jangan tinggalin aku Sa" aku benar benar dilingkupi perasaan takut kehilangan sosok Mesa.

Mesa mulai mendekatkan wajahnya menciumi bibirku dengan penuh kelembutan. Aku tidak menolak, entah kenapa dadaku terasa sulit untuk bernafas ada perasaan sedih yang sangat mendalam. Dia tidak berhenti menciumi bibirku, semakin lama ciumannya semakin menuntut lebih. Aktivitas kami semakin jauh melampaui batas...
Mesa menghentikan semua kegiatan kami dan bertanya "Kamu yakin Sa?"

Aku tidak menjawab namun langsung kulumat bibirnya. Kami betul2 kehilangan kendali malam itu... Bukan aku tidak sadar melakukan ini... Aku betul betul sangat sadar. Mungkin aku sudah gila! Ya! Aku memang sudah gila karena mencintai Mesa. Untuk beberapa saat waktu berhenti diantara kami. Mungkin Mesa menyesal melakukan ini. Aku tidak menyesal saat itu, tapi mungkin suatu hari aku akan menyesalinya jika ternyata bukan Mesa yg menjadi suamiku kelak.

"Sa...." panggil Mesa sambil mengusap punggungku

"kamu gapapa?" tanyanya lagi

"Aku gapapa, lanjutin gpp, tapi pelan pelan ya... Sakiit..." jawabku

Kupikir Mesa akan melanjutkan aktifitas kami, tapi ternyata Mesa memilih untuk menyudahi saja, perlahan dia melepaskan miliknya dariku. Menutupi tubuhku dengan selimut.

Aku masih posisi tengkurap, menangis... Mesa membersihkan diri, memakai kembali celananya lalu menghampiri aku.

"Sa... Maaf..." bisiknya sembari memeluk tubuhku

Aku berbalik perlahan menatap wajahnya, tanganku meraih kedua pipinya. Lama aku menyapu seluruh bagian wajahnya dengan pandanganku. Air mataku masih terus mengalir. Bukan karena sakit kehilangan kesucianku. Tapi lebih karena jauh lebih takut kehilangan jika laki laki ini kelak bukanlah suamiku.

"Sa.... Jangan diam... Jangan menangis... Aku minta maaf..." ucapnya lagi

Seketika aku merasa menyesali perbuatanku. Terlintas dalam pikiranku Jangan jangan Mesa tidak mencintai aku sebagaimana aku mencintai dia.

"Ngomong Saa..." sekali lagi Mesa berkata dengan nada memohon.

"Sa... Berjanjilah... APAPUN YANG TERJADI DI MASA YANG AKAN DATANG, KAMU HARUS MENIKAHI AKU. KAMU HARUS MENJADI SUAMIKU. JANJI SA! AKU MOHON BIARKAN AKU JADI PENGANTINMU"

Ucapku dengan suara bergetar dan putus asa. Karena aku tidak tahu bagaimana lagi cara untuk bisa mendapatkan Mesa sebagai pasanganku.

"Iya Sa... Aku janji" jawab Mesa.

Tapi tidak tahu kenapa hatiku ragu dan sangat bimbang... Perasaan tidak yakin dengan masa depan kami justru semakin kuat.
.
.
.
.
.

Miles AwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang