15. Kontrak Kerja

7 0 0
                                    

"Ma, aku sudah pesan taxi untuk besok pagi. Barang-barangku juga sudah selesai aku packing. Besok aku jemput mama ke hotel atau mama yang ke kosan?" tanyaku sambil menyedot es teh lemon yang tadi kupesan.

"Mama aja nanti yg ke kosanmu. Kan sekalian Bapakmu ngambil Vespa sama barang-barangmu yang gak kamu bawa ke Jakarta, jadi nanti bisa barengan. Kita ke Bandara, Bapakmu pulang" jawab mamaku.

Kami sudah tiba di Jogja sejak kemarin, kata mama mau sekalian jalan jalan, pamitan ke pak haji Ashari dan belanja belanja. Selain mama, ada Bapak dan Ibuku juga ikut ke Jogja serta supir mamaku tentunya.

Saat ini kami sedang makan siang di salah satu rumah makan langgananku di daerah Seturan. Ada Anton yang ikut bergabung bersama kami. Hanya kebetulan saja ketemu dia pas lagi mau makan siang juga. Akhirnya kami undang makan bareng di satu meja setelah aku melambaikan tangan dan menyapanya ketika melihatnya memasuki rumah makan.

Ibu, Bapak dan Mamaku terkesan dengan Anton. Pemuda berwajah oriental ini memang selalu santun tapi tidak kaku, pintar menyesuaikan diri saat berinteraksi dengan siapapun termasuk orang yang lebih tua. Bisa cepat nyambung intinya.

Selesai makan, dan sesuai rencana Mamaku, kami langsung menuju ke Malioboro, silaturahmi, pamitan ke pak haji Ashari dan tentu saja belanja! Sementara itu Anton langsung pamitan dan mengucapkan terima kasih karena sudah ditraktir makan.

"Kayaknya Anton suka sama kamu deh Sal... Bener ya?" tebak mamaku mengagetkanku diperjalanan menuju Malioboro.

"Yaaa.... Gitu deh Ma. Tapi kami hanya berteman" jawabku.

"Keturunan China yo?" tanya ibuku yang juga tak kalah excited.

"Gak tahu. Haha... Gak pernah nanya. Aku cuma tahu kalau dia mualaf. Tapi kalau dilihat dari wajahnya dan fakta kalau dia mualaf ya mungkin memang turunan tionghoa kali ya" aku menjawab dan menambahkan keterangan tentang Anton.

"Antonius nama panjangnya ya?" kali ini Bapak ikutan nimbrung pembicaraan. Entah kenapa tiba-tiba mereka begitu tertarik soal Anton.

"Iya" jawabku singkat. "kayaknya" tambahku karena akupun tidak yakin 😂 karena aku sendiri tidak pernah bertanya atau mencari tahu detail tentang Anton. Aku bahkan tahu kalau Anton adalah seorang mualaf dari Nugi.

*********

Sesuai dengan rencana kemarin, mama, Bapak dan Ibu datang ke kosanku. Si Melon dan beberapa barangku dinaikkan mobil. Segera setelah berpamitan kami berpisah. Bapak dan Ibu langsung pulang, aku dan mama langsung ke Bandara. Nanti di Jakarta kami akan langsung menuju hotel terdekat dengan kantor Rajawali Air tempat dimana nanti aku akan melakukan tanda tangan kontrak kerja.

Besoknya kami para calon pramugari baru Rajawali Air dikumpulkan di dalam semacam ruang rapat untuk menerima briefing dan dilanjutkan dengan proses tanda tangan kontrak.

Fokus isi kontrak kerja yang kubaca adalah tentang berlakunya penalty jika aku tidak menyelesaikan kontrak dengan berbagai alasan.

Jika aku tidak mampu menyelesaikan kontrak kerja pada masa ground training maka aku akan dikenakan penalty senilai Rp 10jt, masa flight training senilai Rp 20jt dan jika aku mengundurkan diri sebelum masa kontrak kerjaku habis setelah aku lulus training, alias aku sudah mulai terbang. Makan jumlah penalty yang harus aku bayar adalah senilai Rp 50jt.

Isi kontrak bagian yg satu ini turut menjadi beban tersendiri buatku. Kenapa? Pertama pekerjaan ini bukanlah cita citaku sejak awal. Kedua aku tidak yakin bisa bertahan hidup di Jakarta. Sungguh aku tidak suka ada disini. Tapi aku sudah tidak bisa mundur lagi.

Segera kububuhkan tanda tanganku di setiap halaman kontrak kerja tersebut. Mamaku juga ikut membubuhkan tanda tangannya sebagai penanggung jawabku. Selain itu aku masih juga harus menyerahkan akta lahir dan ijazah SMA untuk mereka tahan sebagai bentuk jaminan. Ya Tuhan. Untuk sesaat aku sempat menyesali keputusanku. 3 tahun kontrak kerja! Apa aku sanggup menjalaninya jauh dari Mesa? Kuhembuskan nafas panjang mencoba meringankan beban sesak di dadaku. Kulihat mamaku yg tersenyum bangga.

Disatu sisi aku ingin menyerah. Tapi disisi lain aku tidak mau menghapus senyuman Mama, Bapak & Ibuku.

Salma kamu harus kuat! Hanya 3 tahun! Kamu pasti bisa!

Tapi...
Apa Mesa Bisa? Apa Mesa Sanggup? Apa kami akan baik baik saja?
Pengen nangiiiisssssss...

Selesai dengan urusan kontrak kerja kami langsung menuju ke salah satu hotel bintang 5 yang ada di kawasan Ancol. Kebetulan sekali Mamaku ada agenda kumpul-kumpul bareng karyawan perusahaan tempat papa bekerja. Mereka mengadakan semacam liburan bareng di Jakarta. Tadinya mama tidak berniat ikut karena papa sedang bertugas di Papua, tapi karena kebetulan waktu tanda tangan kontrak kerjaku bersamaan dengan agenda liburan bersama mereka akhirnya ya sekalian saja. Akupun ikut menemani mama karena waktu pelatihanku masih sekitar 1 mingguan lagi paling cepat.

Dalam tour/liburan ini mama mencoba mengenalkanku dengan putra salah satu teman kerja papa. Namanya Dimas. Sejak awal kami bertemu Dimas memang terlihat tertarik padaku. Mungkin karena dalam rombongan ini hanya kami berdua yang masih muda dan lajang. Jadi ya mau tidak mau kami jadi sering "diposisikan" berdua. Supaya obrolan kami nyambung. Bahkan terang-terangan mereka mencoba menjodohkan kami sepanjang acara tour ini meskipun terkesan bercanda. Aku merasa tidak nyaman. Beberapa kali saat di kamar mama juga sangat sering memuji Dimas, prestasinya hingga pekerjaannya. Aku lebih sering menanggapinya dengan senyuman.

Aku tahu Dimas laki laki yang baik, mapan, tampan dan yang lebih penting lagi mama dan orang tua Dimas saling mengenal dan punya hubungan baik.

Seandainyapun Mesa bukan masa depanku, aku tidak mungkin akan memilih Dimas. Aku terlalu malu. Aku sudah tidak lagi suci. Kasihan Dimas. Kasihan aku. Kasihan Mama, Abah, Ibu, Orang tua Dimas.

Beberapa kali mama meminta ijinku untuk memberikan nomor ponselku ke Dimas dan aku menolak. Bahkan ketika Dimas sendiri yang memintanya aku justru meminta balik nomor Dimas duluan, kubilang padanya kalau nanti aku sms nomorku. Tapi hingga tour itu berakhir aku tidak pernah menghubunginya.

Hari terakhir tour aku berpamitan duluan pada mama dan rombongan. Karena mama akan kembali pulang sementara aku mulai saat ini harus langsung menetap di Jakarta. Untuk sementara waktu aku akan kembali tinggal di mess Camar tempat kang Kholis, kemudian mencari tempat kos sedekat mungkin dengan lokasi training di daerah Menteng, Jakarta Pusat. Maka siang ini kang Kholis akan menjemputku di hotel lalu membawaku kembali ke mess Camar.

******

Akhirnya setelah 2 hari keliling mencari tempat kos, aku mendapat tempat kos yang cukup murah. Hanya 500ribu/bulan. Itupun kutempati berdua dengan temanku Sukma yang sama-sama berangkat dari Jogja. Jadi masing-masing dari kami hanya perlu mengeluarkan uang 250ribu saja. Memang tidak terlalu bagus namun cukup nyaman. Lokasinyapun tidak jauh dari tempat kami training nantinya.

Dengan dibantu kang Kholis akhirnya aku pindah ke kosan. Dua hari kemudian Sukma datang dengan diantar ibunya.

Masih ada waktu sekitar 3hari untuk kami mencari berbagai keperluan training. Mulai dari baju kemeja putih lengan pendek, rok hitam selutut, sepatu dengan hak minimal 7cm, alat tulis dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Aku bersama dengan Sukma berbelanja di Pasaraya Manggarai dan beberapa lainnya kami dapatkan di pasar Rumput yang juga tidak jauh dari kosan kami. Dapat kami tempuh hanya dengan berjalan kaki.

Hari pertama pelatihanpun tiba. Aku dan Sukma berangkat 1 jam sebelum kelas dimulai mengingat ini juga hari pertama kami tentu kami tidak ingin terlambat. Apalagi kami berangkat ke tempat pelatihannya dengan  jalan kaki sekalian menghitung berapa lama waktu yang kami perlukan untuk sampai kesana. Oiya kami berangkat dari kosan menggunakan sandal, nanti setibanya di tempat pelatihan, baru kami akan ganti dengan sepatu hak tinggi. Kami tidak bisa bayangkan jika harus berjalan kaki menggunakan sepatu hak tinggi 😂.

Sesampainya di lokasi pelatihan masih sangat sepi. Ternyata jarak dari kosan ke tempat pelatihan hanya memerlukan waktu sekitar 10 menitan saja. Hanya ada satu orang petugas administrasi yang sepertinya juga baru datang. Setelah menanyakan dimana lokasi kelas kami, aku dan Sukma langsung menuju ke ruang kelas yang ditunjuk beliau.

Hari pertama pelatihanku berjalan lancar. Aku yang sudah memiliki basic pelatihan di sekolah pramugari sebelumnya membuatku lebih mudah menyerap materi dibanding teman-temanku yang lain. Termasuk Sukma.

Sepulangnya dari pelatihan, aku dan Sukma memutuskan untuk sekalian membeli makan di daerah pasar Manggis baru pulang ke kosan.
.
.
.
.
.

Miles AwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang