Sehabis subuh kubuka curtain jendela kamarku, terlihat semburat cahaya fajar di ufuk cakrawala mulai menerangi langit sehingga pemandangan laut Bunaken terlihat sangat indah di luar sana.
Aku putuskan untuk keluar dan duduk di kursi yang berada balkon kamar, menikmati pemandangan dan udara pagi ini. Kuhirup dalam - dalam oksigen dan aroma pagi yang segar. Pikiranku melayang merenungi takdirku. Bertanya-tanya kiranya apa yang Allah takdirkan untukku di masa depan?. Kupejamkan mataku, berusaha membayangkan kira - kira akan seperti apa masa depan?. Apa aku masih punya kesempatan memiliki masa depan yang Indah?.Aku mencoba membayangkan satu kemungkinan lalu kemungkinan lainnya dengan mata terus terpejam hingga aku jatuh terlelap di kursi balkon kamarku.
Krriiing...! Krriiing...! Krriiing!
Lamat-lamat kudengar suara telepon di kamarku berbunyi. Sebagian besar diriku enggan untuk membuka mata dan beranjak mengangkat telepon. Tapi mengangkat telepon saat menjalankan dinas terbang seperti ini adalah sebuah kewajiban, karena adanya kemungkinan-kemungkinan perubahan jadwal terbang.
Akhirnya aku putuskan untuk beranjak dari tempat duduk untuk kembali masuk ke kamar dan mengangkat telepon. Sayangnya, sebelum sampai aku masuk ke dalam kamar, suara telepon sudah berhenti. Kulirik sesaat jam di tanganku menunjukkan pukul 08.00 WIB atau 09.00 WITA. Mungkin senior seniorku yang lain yang meneleponku untuk mengajak sarapan pagi di restoran hotel. Kalaupun itu panggilan telepon penting seperti perubahan jadwal, aku yakin mereka pasti akan mencoba menghubungiku lagi. Tapi setelah menunggu sekitar 5 menitan, nyatanya tidak ada panggilan telepon lagi. Aman!
Karena sudah terlanjur terbangun, aku putuskan untuk mandi saja dan bersiap menuju restoran untuk sarapan pagi.
****
Di restoran aku tidak melihat satupun anggota crew terbang ku. Ku edarkan pandangan ke segala arah di setiap sudut restoran untuk memastikan jika ada salah satu crew yg mungkin sedang duduk sarapan atau mengambil makanan di buffet, namun aku tidak menemukan satupun diantara mereka. Baiklah... Berarti aku memang harus makan sendiri. Mungkin mereka sudah makan duluan, atau sebaliknya, mungkin mereka masih tidur di kamar masing-masing.
Aku memilih meja di bagian luar yang menghadap ke arah laut Bunaken. Kuletakkan piring makanku yang sudah terisi aneka buah dan 1 cup yoghurt di atas meja makan. Lalu aku kembali beranjak untuk mengambil segelas jus dan susu.
"Pagi Salma" Kudengar seseorang memanggil namaku dari jarak yg cukup dekat dari arah belakang tubuhku.
Ku balikkan tubuhku untuk melihat pemilik suara tersebut.
"Eh, Pagi mas" Kubalas sapaan itu setelah aku tahu bahwa rupanya yg menyapaku adalah mas Nanda.
"Duduk dimana Sal? Boleh ya gabung?!" Tanya mas Nanda kemudian. Sebetulnya pertanyaan tersebut sangat wajar dan biasa diantara kami para awak pesawat. Sudah semacam etika bersosialisasi.
"Disana mas" Jawabku sambil menunjuk ke arah meja yang tadi kupilih.
Beberapa saat kemudian kami sudah duduk bersama untuk menikmati makan pagi kami berdua saja. Yapp... Karena ternyata teman-teman crew yang lain memilih untuk makan di kamar masing-masing melalui room service.
"Tadi aku telpon ke kamar Salma, tp gak diangkat. Kupikir pasti Salma sudah di restoran untuk sarapan. Makanya nyusul kesini" Mas Nanda mencoba untuk memecah keheningan diantara kami berdua. Rupanya dia yg tadi menelpon.
"Oo.. Mas Nanda to tadi yang telpon. Sebenarnya aku masih di kamar tadi mas. Pas mau ku angkat telponnya sudah mati, sempat ku tungguin juga kali-kali telpon lagi mungkin ada perubahan jadwal apa gimana. 5menitanlah, karena gak ada telpon lagi ya udah aku mandi terus langsung turun kesini" Jawabku panjang lebar.
Mas Nanda hanya tersenyum karena mulutnya sedang penuh dengan makanan.
"Habis makan jalan-jalan yuk Sal. Ke pantai!" Ajaknya setelah menyesap kopi.
Aku sebenarnya bingung mau bikin alasan apa untuk menolak ajakannya. Sembari tetap menunduk fokus pada piringku, seolah olah aku sedang mencari alasan yg mungkin terselip diantara telur ommellet dan sosis keju yang baru saja kuletakkan di atas meja setelah beberapa kali aku mondar mandir mengambil berbagai makanan yg tersedia pagi ini di meja buffet.
"Mmmm... Hari sudah terik banget deh mas kayaknya kalau mau jalan ke pantai sekarang" Akhirnya aku menemukan alasan.
Tapi rupanya mas Nanda masih belum menyerah. "Iya sih... Gimana kalau nanti sore? Sambil menikmati senja di Bunaken?"
"Mmm... Lihat nanti ya mas" Aku sangat gemas dengan diri sendiri, kenapa selalu memiliki perasaan gak enakan untuk menolak. Takut menyinggung atau mengecewakan orang lain. Seringkali mengorbankan perasaan sendiri yang menyebabkan aku sangat kesulitan untuk bersikap tegas.
"Nanti siang mau makan siang dimana? Mbak-mbak senior yang lain memangnya tidak ada rencana mau jalan kemana gitu Sal?"
"Nggak tahu saya mas. Soalnya dari semalam belum ada bisik-bisik dari mereka punya rencana kemana gitu. Coba aja nanti kalau mau mas Nanda telpon mereka. Siapa tahu mereka mau diajakin jalan. Lha kalau Salma yang ngajakin ya gak enak mas. Hehehe... Junior baru lahir soalnya." Jawabku panjang.
"Terus ini habis makan Salma mau ngapain?"
"Mau balik ke kamar aja kayaknya mas. Baca-baca buku, nonton TV.... Mmmm... Udah... Tidur mungkin" Kujawab sambil nyengir.
"Makan siang?" Mas Nanda bertanya sekali lagi soal rencanaku mau makan siang dimana. Karena memang jatah fasilitas makan dari hotel hanya makan pagi saja. Makan siang & dan makan malam tentu harus kami tanggung sendiri.
"Belum tahu mas. Lihat nanti, tapi kayaknya aku gak makan siang deh mas. Dirapel aja nanti sekalian makan malam. Hehehe... "
Mas Nanda juga tertawa mendengar jawabanku sambil berkomentar "pantas saja tubuhmu kurus kerempeng Sal"
Beberapa saat kami saling diam. Mas Nanda beberapa kali kudapati sedang memperhatikan wajahku yang tentu saja membuat aku merasa risih.
"Salma gak suka jalan-jalan ya orangnya?"
Aku menarik nafas panjang. Dalam hati aku berkata lama-lama acara makan pagi seperti acara wawancara.
Pertanyaan mas Nanda hanya kujawab dengan anggukan kepalaku saja. Sepanjang pembicaraan dan sarapan pagi aku hampir tidak melakukan kontak mata dengan mas Nanda. Aku takut membuatnya salah paham jika aku melakukannya. Maaf ya mas aku tidak bermaksud untuk tidak sopan. Ucapku dalam hati.
"Ya udah yok balik ke kamar!" Ajak mas Nanda kemudian.
"Duluan aja mas, aku masih mau ngambil kue kue"
Mas Nanda melihatku sambil tersenyum lebar memperlihatkan giginya lalu berkata "kamu ternyata makannya banyak ya Sal? Apa jangan-jangan memang sengaja buat 'cadangan' karena gak makan siang?" Dia merubah mimik wajahnya seolah menelisik dan dilanjutkan dengan tawa lepas
"Kok tahu aja sihhhh. Hahahaha" Jawabku mengiyakan tebakannya yang ku susul juga dg tawaku.
"Yaudah. Aku duluan ya Sal. Nanti ku telpon sore gapapa kan? Siapa tahu kamu berubah pikiran" Pamitnya
Dan lagi-lagi hanya kujawab dengan anggukan. Entah kenapa aku merasa kurang nyaman ngobrol sama mas Nanda.
Mungkin aku perlu menyiapkan alasan untuk sore atau malam nanti kalau mas Nanda kembali mencoba mengajakku jalan. Kecuali... Kalau jalannya ramean bareng captain dan mbak senior yang lainnya. Tentu aku tidak akan menolak.
Tapi soal makan malam gimana ya kalau misalnya ternyata captain dan mbak mbak yang lain gak ngajakin alias mereka pergi sendiri-sendiri? Haduhhh kan gak mungkin aku gak makan malam. Mau gak mau aku harus beli makan. Mmmm... Apa sebaiknya aku pesan room service aja kali ya. Pesen makan malam dari hotel biar diantar di kamar.
Tapi...
Aku gak suka makan di kamar. Karena nanti pasti kamar jadi bau terkontaminasi aroma makanan. Duh jadi bingung....
.
.
.
.
.
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Miles Away
RomanceKisah hidup Salma yang seperti sinetron berseri tak berujung, keras kepala, seringkali nekat mengambil tindakan yang berresiko tak kenal rasa takut, kecuali satu hal (takut kehilangan kekasihnya, Mesa) jatuh berkali2, tapi selalu siap bangkit lagi d...