1. Pamit

49 0 0
                                    

"Besok pagi-pagi sekali aku akan pergi, doakan aku..." nafasku seperti terhenti, ada yg menyumbat jalan nafasku... Dadaku sesak... Nafasku tak beraturan, sekuat tenaga aku membendung airmata. AKU TIDAK MAU MENANGIS! dan pria di depanku ini entah berapa lama dia hanya diam menatapku, tak sepatah katapun keluar dari bibirnya sejak tadi, tangannya menggenggamku begitu kuat, seperti anak kecil yang tidak mau ditinggal ibunya.

"Please... Jangan begini..." ucapku

"Dekk... Kamu yakin?" akhirnya ada kalimat yg keluar dari mulutnya, gemetar suaranya kudengar dengan sangat jelas. Airmatanya mengalir... Sedetik kemudian aku sudah berada dipelukannya.

"Jangan pergi... Aku mohon... Kita tidak akan berhasil melalui semua ini kalau kamu benar-benar pergi... Percaya sama aku... Jangan pergi..." dia menghiba sembari mendekapku lebih kuat, tubuhku lemas, dadaku semakin sesak, tapi jiwaku bergejolak, aku tidak mau menjadi lemah karenanya...

"Maafkan aku... Tapi aku harus pergi... Aku ingin membuktikan bahwa aku bisa sukses tanpa harus bergantung kepada laki-lakiku..." kulepaskan diri dari dekapannya...

"Pulanglah... Ini sudah larut... Doakan aku... Maafkan aku... Aku pamit..." segera kututup pagar rumah, berjalan menjauh dan tidak menoleh lagi, ego di dalam diriku tidak akan merubah keputusan yang sudah kuambil.

Laki-laki itu masih berdiri disana, mungkin dia sedang menguatkan hatinya supaya punya kekuatan untuk berbalik dan pulang, atau bisa jadi dia masih berharap bahwa wanitanya ini yg berbalik lalu merubah keputusannya... Tapi maaf... Kamu tahu betul siapa aku. Tidak akan kurubah keputusanku... Keputusan yang mungkin akan aku sesali seumur hidup... Maafkan aku...

***


Malam itu aku tidak bisa memejamkan mata, aku masih memikirkan Mesa, laki-laki yang semalam menangisiku, memohon kepadaku untuk tetap tinggal. Laki-laki yang selama 3 tahun menjadi tempat aku berbagi kisah, berbagi cerita. Dan hari ini aku akan meninggalkannya (lagi), kali ini lebih jauh dan lebih tidak pasti. Suasana hatiku kacau balau, tidak seimbang, takut, bingung tapi akupun tidak mau harga diriku terinjak-injak, diragukan oleh keluarga Mesa. Entah apa alasannya, aku tidak pernah tahu. Lalu sebenarnya apa yang ingin aku buktikan jika aku tidak tahu alasan mereka tidak menyukaiku? Ishhhh... Sudahlah... Keputusan sudah kuambil apapun resikonya harus mampu aku hadapi.

Mobil travel sudah di depan rumah, aku segera pamit dengan semua anggota keluarga,memohon doa restu mereka, kali ini anak perempuan mereka akan pergi jauh... Sangat jauh... Mengejar impian yang sebetulnya bukan benar-benar impiannya, hanya sebuah misi pembuktian... Tidak lebih...

"Sa... Doakan aku..." ucapku dalam hati sembari menatap ke arah matahari terbit, lalu segera kulangkahkan kakiku masuk kedalam mobil.

Hari masih sangat pagi... Jalanan basah oleh hujan dini hari tadi, aroma tanah dan segarnya udara pagi menciptakan suasana tersendiri buatku. Aku menghela nafas panjang, berharap bebanku berkurang... Dadaku masih terasa sesak, ingin rasanya menangis sejadi jadinya, tapi malu dengan satu satunya penumpang lain di dalam mobil ini. Tanganku terus memegang telepon genggam, berkali kali kulihat ke layar, berkali kali juga kubuka folder pesan. Berharap ada sms atau panggilan suara dari Mesa. Sungguh aku berharap dia menelepon dan memohon sekali lagi agar aku tidak pergi, aku bahkan berpikir jika Mesa melakukan itu aku mungkin akan benar benar berhenti lalu kembali, aku akan batalkan kepergianku, lalu kembali berjuang bersama Mesa (lagi). Tapi tidak... Mesa tidak menghubungiku... Terbersit keinginan untuk menelepon ke rumahnya, tapi hatiku tidak siap menerima penolakan dari keluarganya. Seringkali begitu... Panggilanku untuk Mesa tak pernah mereka sampaikan kepadanya... Hmmhh... Sudahlah... Mungkin Mesa masih terluka, kecewa...

Hampir sepanjang perjalanan pikiranku begitu sibuk memikirkan Mesa, menimbang nimbang dan berharap semoga langkah yang kuambil ini bukanlah keputusan yang salah..

Drrrrtttt... Terdengar suara yg membuat telingaku tidak nyaman disambung dengan keluhan pak sopir "waduh... Opo meneeeehhh iki". Melihat raut wajah pak sopir sepertinya sesuatu terjadi dengan mobil yang ku tumpangi ini.

"Mbak-mbak maaf banget ini lho... Mobilnya mogok... Duh bingung saya mana mbak-e yang satunya mau naik pesawat ya? Jam berapa mbak? Takutnya mbak-e telat nyampe bandaranya" ujar pak sopir dengan logat jawanya yg super kental kepada kami penumpangnya. Khususnya kepadaku yang memang harus ke bandara.

"gapapa Pak, masih 5 jam lagi kok jadwal pesawat saya, jadi gimana Pak? Kira-kira mobilnya masih bisa dibetulin dulu nggak?" aku bertanya sekaligus demi memastikan nanti tidak tertinggal pesawat, karena perjalanan kami menuju bandara seharusnya masih 2jam perjalanan lagi.

Pak sopir diam sejenak, melihat ekspresinya sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu apa yang bisa dia lakukan. "mmmm... Menurut pengalaman saya mbak, ini bakalan lama, gimana kalau mbak-e nunggu? Agak lama sih biar dikirim mobil pengganti dari kantor? Tapi takutnya nanti mbak-e nyampe bandaranya terlalu mepet... Beresiko telat malah, mengingat Surabaya kota besar yang macet juga... Piye ya mbak? Duh maaf banget"

Tak kalah bingung dengan pak sopir, tapi aku mencoba tenang untuk memikirkan solusi yang paling mungkin aku lakukan. Antara menunggu dengan resiko terlambat, atau menyambung perjalananku dengan menggunakan bus, lalu lanjut naik taxi yang juga memiliki resiko terlambat. Aiiisssh...

"Pak, saya naik bus ajalah... Lain kali kalau mau dipakai, mobilnya dicek dulu, diservis! Kayak gini ini kan merugikan penumpang! Gimana sih!" semprot penumpang yang lain kepada Pak Sopir, dilanjutkan dengan aksi turun dari mobil dan membanting pintu mobil cukup keras. Sementara ekspresi wajah pak sopir terlihat cemas dan bingung.

Akhirnya aku memutuskan untuk menunggu, kuambil resiko yang sebetulnya lebih riskan. Iya kalau mobilnya bisa jalan lagi? Atau mobil penggantinya cepat sampai dan tidak ada kendala dalam perjalanan... Tapi sudahlah... Jikalau pun akhirnya ketinggalan pesawat, mungkin ini memang cara Tuhan untuk menghentikanku, untuk mengatakan padaku "Jangan pergi! Ini keputusan yang salah!" pikirku.

Matahari semakin terik, aku menatapnya sebentar, lalu melihat jam tanganku, gelisah karena mobil pengganti tak kunjung datang sementara mobil yang kutumpangi ini tak juga menunjukkan tanda tanda kehidupan 😥. Ku kabari keluargaku, mereka menyarankanku untuk naik.bus saja, tapi aku mengajukan alasanku kenapa memilih menunggu. Dan... Mesa... Kenapa sudah sesiang ini dia tidak juga menghubungiku? 😟. Campur aduk rasanya.

Nyaris 2 jam aku menunggu. Waktu terus berlalu tanpa peduli padaku, duh! Pak supir berkali2 melemparkan pandangannya kepadaku, tapi kali ini dia bersuara "mbak, gimana? Duh saya kasihan sama mbak-e, apa gak sebaiknya mbak naik bus aja? Mumpung masih ada waktu"  dia memberi saran padaku.

Saat aku berfikir untuk mengambil saran pak sopir, mobil pengganti akhirnya datang juga. Syukurlah... Akupun bergegas naik, tak lupa kuucapkan terima kasih kepada sopir yg lama. Akupun kembali melanjutkan perjalanan menuju kota Surabaya. Kali ini aku menjadi penumpang satu-satunya. Aku banyak diam, masih memikirkan Mesa, bertanya-tanya kenapa dia tidak meneleponku. Sesekali pak sopir bertanya, berusaha ramah mengajakku mengobrol, dan aku hanya menjawab pendek pendek, sekenanya bahkan mungkin lebih sering tidak kujawab karena aku sedang tidak fokus padanya. Hati dan pikiranku dipenuhi tentang Mesa.

2jam kemudian sampailah kami di kota Surabaya. Tadinya harusnya aku turun di Kota, lalu melanjutkan perjalanan ke Bandara dengan menggunakan taxi. Tapi Pak sopir dengan sangat baik hati menawarkan bantuan untuk mengantarkanku langsung ke bandara supaya aku tidak terlambat karena waktu penerbanganku sudah sangat mepet. 😣 begitu sampai bandara aku segera melompat turun, mengucapkan terima kasih, dan tak lupa aku memberi tips untuk pak sopir yang baik hati ini.

Miles AwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang