18. Aku Menyerah

15 0 0
                                    

Rasanya tidak ada hari tanpa tangisan. Kang Kholis sering merasa bingung dengan kebiasaanku melamun dan menangis tanpa sebab. Setiap kali ditanya aku selalu menjawab bahwa aku hanya capek. Kaget dengan pola hidup baru sebagai pramugari. Jenuh bahkan di bulan pertama aku mulai aktif terbang. Jadwal terbang tidak menentu, istirahat kurang, konflik dengan senior ataupun rekan kerja, pola makan yang juga tidak kalah kacau balau. Aku ingin pulang... Aku tidak sanggup...

Setiap kali aku mengeluh, setiap kali juga kang Kholis selalu berusaha menyemangatiku, memberi motivasi. Bukan hanya kang Kholis, kadang teman-teman kang Kholis juga sering berusaha menghiburku. Ada yang mengajakku jogging hingga mengajakku nonton di bioskop.

Sepertinya mereka semacam menyusun agenda setiap hari liburku tidak boleh ada waktu buat aku berdiam diri yang akhirnya berakhir dengan melamun atau menangis. Secara bergantian ada saja yang mengajakku entah kemana atau ngapain. Pokoknya aku gak boleh ngelamun. Ah... Kakak kakak tentara kesayangan. Bukan hanya siap membela negara tapi juga siap melindungi suasana hatiku yang sering galau.

Hingga tibalah hari dimana mungkin inilah titik puncak perjuanganku. Pulang dari terbang jadwal 5 hari membuatku sangat lelah. Sampai mess sudah pukul 18.15 WIB. ketika masuk ke kamar tidak kudapati kang Kholis disana. Aku kembali keluar kamar kulihat kamar mas Slamet tertutup rapat. Aku mencari mbak Sur kupanggil panggil namanya tapi sepertinya mbak Sur juga sedang tidak ada di tempat. Kuputuskan kembali masuk ke kamar. Kuambil baju-baju kotorku dari dalam koper, aku juga mengambil baju bersih dan peralatan mandi serta deterjen. Kulangkahkan kaki dengan malas ke arah kamar mandi. Sebetulnya aku ingin langsung tidur saja. Tapi tubuhku rasanya lengket semua, mau tidak mau aku tetap harus mandi. Sudah menjadi kebiasaanku juga mencuci baju sekalian saat mandi.

Selesai mandi dan mencuci pakaian kotorku dan menjemurnya aku kembali ke kamar dengan gontai, tapi tubuhku sudah lebih segar. Mess masih sepi. Kurebahkan tubuhku di atas kasur. Aku melihat ke arah hand bag terbangku. Aku memikirkan ponselku yang kusimpan disana dan sejak subuh tadi kumatikan. Memang sudah aturannya bahwa kami harus selalu mematikan ponsel saat terbang.
Sebetulnya aku sangat malas untuk mengambilnya. Biasanya pulang terbang aku memang selalu langsung tidur setelah mandi. Ponsel baru akan kuaktifkan setelah aku terbangun dan lelahku hilang. Tapi entah kenapa saat ini aku ingin sekali mengaktifkannya, aku penasaran pada kemana penghuni mess Camar, mungkin ada pesan dari kang Kholis atau kalaupun tidak ada aku bisa menelpon atau mengirimkan sms menanyakan keberadaannya.

Akhirnya kuputuskan untuk mengambil dan mengaktifkan ponselku. Benar saja kudapati pesan dari kang Kholis bahwa saat ini dia, mas Slamet dan para penghuni mess sebelah sedang takziah. Pantas saja mess sangat sepi. Aku membalas pesan kang Kholis sekalian meminta tolong titip belikan makanan saat dia pulang nanti. Biasanya memang aku selalu mampir warung makan saat pulang terbang tapi hari ini aku benar benar sangat lelah sehingga malas untuk mampir mampir meskipun sekedar untuk membeli makan.

Kurebahkan lagi tubuhku, kuletakkan ponselku tepat di bawah bantal. Hanya beberapa detik aku mulai memejamkan mataku, ponselku bergetar, sepertinya ada panggilan masuk. Kuhembuskan nafas dengan kasar. Antara sebal dan kesal. Aku terlalu lelah untuk mengangkat panggilan yang biasanya dari crew tracking yang akan memberikan jadwal terbang maupun revise. Hey ayolah aku sudah 6 hari kerja, 6 hari yang lalu jadwal terbangku pulang hari. kemudian hari kedua hingga hari ini 5 hari terbang. Besok tentu adalah hakku untuk mendapatkan Day Off (DO).

Aku betul - betul tidak berniat untuk mengangkat ponselku. Rasanya ingin kumatikan lagi saja ponselku sampai DO ku berakhir besok malam. Getar ponsel yang tidak kunjung berhenti akhirnya membuat pertahananku bubar, kuambil ponselku dan kulihat nomor pemanggil yang tertera adalah nomor yang tidak kukenal, tapi tetap kuangkat panggilan tersebut.

Miles AwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang