Sepasang kaki menapak di rumah megah yang dipenuhi hiasan bunga bernuansa putih. Rumah ini masih sama ketika dia pergi mengurusi klien di pinggir kota, dan pulang setelah berhasil melawan maut sendirian. Ditemani pria yang datang bak malaikat, tapi menjengkelkan luar biasa. Tapi tak apa, yang penting dia pulang dengan selamat sentausa dan menemui laki-laki yang begitu dicinta. Memaksa diri meski sakit kepala masih terasa menusuk, supaya bisa dinikahi dan dibawa pergi untuk dibahagiakan.
Sayangnya, senyuman manis yang kata orang memikat yang terlukis sembilan puluh menit lalu pudar. Digantikan dengan mata berkaca-kaca yang sesaat kemudian meluapkan air mata, begitu melihat keanehan di depan sana.
Barulah dia sadari apa arti semua bunga dan hiasan-hiasan bernuansa putih di rumah itu.Sebuah pernikahan tengah dilangsungkan.
Tapi bagaimana bisa pernikahan terjadi tanpa pengantinnya?
Tak tahan menahan penasaran, langkah kaki dipaksa berjalan mendekat. Didengarnya tamu-tamu bertepuk tangan riuh dan dilihatnya bibir mereka tersenyum bahagia. Tak ada kesedihan terpancar di mata mereka padahal dia kecelakaan dan untungnya bisa pulang.
Kepadatan yang tercipta menimbulkan sesak di dadanya, dan semakin menyakitkan saat melihat si pengantin pria. Pria yang dia pikir akan mengurung diri di kamar, meratapi pernikahannya yang batal karena pengantin perempuannya tidak hadir di hari akad. Namun kini, pria itu justru tersenyum haru menatap sisi kiri, pada seorang wanita berkebaya putih yang cantik.
Mengikuti pandangan yang menjadi alasannya jatuh cinta, perempuan yang seharusnya sekarang sudah menjadi istri orang harus menerima dengan pahit kenyataan bahwa sekarang dia bukan lagi calon, melainkan mantan yang ditinggal nikah tepat di hari seharusnya dia yang menikah. Bersama laki-laki yang saat ini sedang tersenyum, lalu mencium dengan syahdu kening perempuan yang tertulis di kartu keluarganya sebagai adiknya. Adik yang lahir karena kebablasan kedua orang tuanya.
“Mumta!”
Seseorang menabrak bahunya saat hendak mengabadikan momen sakral ini lebih dekat. Mumta, anak gadis yang kebahagiaannya baru saja digadaikan dengan duka, berlari kencang, membawa pergi air mata yang mencair kian deras.
Laki-laki yang mengantarnya pulang dan menyetir mobil dengan lamban supaya calon pengantin yang sebenarnya sampai di rumah dengan selamat, menatap tidak percaya momentum di depannya.
Bagaimana bisa mereka mencari pengantin lain supaya akad tetap terlaksana seperti rencana? Sesuatu yang sebenarnya hati laki-laki itu inginkan, jadi haruskah ia bahagia? Atau ikut berduka dengan pura-pura?
Entahlah, saat Mumta, anak gadis orang yang begitu mudah mendobrak pintu penjara hatinya yang sudah ia kunci dengan baja, berlari ke luar meninggalkan rumah yang dindingnya merekam semua kedukaan yang gadis itu rasakan.
“Kamu mau kemana?” Ditariknya tangan yang sibuk menghalau air mata agar berhenti menetes.
“Lepas!” seru gadis itu.
Langkah kakinya dipaksa berjalan lebih cepat untuk menghadang si gadis yang entah mau kemana, sambil membawa luka di hatinya itu.
Pucuk hidung gadis itu menabrak keras dada bidangnya yang dihasilkan dari latihan berbulan-bulan agar bisa lolos menjadi anggota kepolisian.
“Tetap jalan kaki tidak akan membawa kamu pergi jauh. Mereka pasti bisa menangkap kamu.”
Mumta menarik-narik lendir di hidungnya dan melihat ke belakang. Orang-orang ... bukan, keluarganya, sudah berjalan setengah lari untuk menghampirinya. Apa mau mereka? Tidak mungkin ‘kan mereka berpikir bahwa dia akan bersedia menghadiri acara pernikahan adiknya dengan tunangannya sendiri?
“Ayo!”
Mata Mumta kembali menatap polisi yang sebulan ini ia tinggali rumahnya untuk menstabilkan kondisi sebelum pulang ke rumah dan menikah, hari ini. Lengannya ditarik dan tubuhnya di dorong masuk mobil.
Mumta benar-benar mati rasa. Baginya mati hati, maka kehidupan juga ikut tidak bernyawa. Bagaimana bisa dia dikatakan hidup kalau rohnya sudah jadi milik perempuan lain? Tepat di hari indah yang ia rencanakan semenjak usia remaja.
Sekarang hidupnya benar-benar menjadi Mumtahanah. Tidak ada yang istimewa selain ujian yang tersimpan di dalam hidup perempuan yang tengah diuji.
KAMU SEDANG MEMBACA
Al Mumtahanah
Spiritual[Update setiap hari Selasa dan Jum'at] Jika menjadi kakak adalah keharusan untuk mengalah Jika menjadi anak baik artinya merelakan Bisakah dia meminta kesempatan untuk lahir lebih lama? Mumtahanah sudah banyak mengalah selama hidup. Demi menjadi kak...