Bagian 21
Rumah yang Bukan Lagi Tempat Pulang
*
*
*
Sudah dua jam dari perkiraan jam pulang yang dibilang dokter. Namun, kendaraan yang mengantar Mumta pulang tidak kunjung tiba. Ashma melarang keras dia untuk menjemput. Sudah ada keluarganya, jawaban singkat yang membuat Elbiyan tidak berkutik.
Benar.
Dua bulan tinggal seatap tak membuat Mumta menjadi anggota keluarga mereka. Mumta hanya tamu, yang kebetulan disayang Ashma dan dicintai oleh Elbiyan.
Tidak ada ikatan lebih yang mampu membuat kedatangan Mumta lebih dari itu.
"Bun," Elbiyan memanggil lemah. Keningnya mengerut. Tidak terbesit keanehan saat Ashma sibuk membereskan kamar. Wajar, tamu yang disayang Ashma akan pulang. Namun melihat nuansa feminim sudah berubah maskulin, seperti satu hari sebelum didatangi Mumta, kamar Elbiyan terasa kembali menjadi hak milik. "Kok ..."
Ashma menggendong bed cover dan membawanya ke dapur. Meninggalkan Elbiyan yang mematung, memandangi kamarnya yang justru terasa asing.
"Bunda gak masak?" Meja makan tak menyajikan apapun. Hanya keranjang buah yang biasanya berdiri di tengah meja. "Mumta jadi pulang hari ini, kan?"
Sengaja ia ambil cuti untuk menyambut seseorang yang istimewa, siap memperjuangkan rasa yang menggumpal menyesakkan.
"Iya."
"Kenapa belum sampai, ya, bun?" Elbiyan mengecek jam tangan, sudah kendur dua jam. Atau mungkin dia yang tidak fokus hingga salah mendengar?
"Mungkin baru setengah perjalanan."
Elbiyan semakin tidak mengerti. "Jarak rumah sakit dengan rumah kita nggak jauh, bun. Paling lama satu jam. Ini sudah dua jam, bahkan lewat dua puluh menit."
Ashma menghela napas. Dipandanginya rantang bekas sup buatannya yang semalam dilahap nikmat oleh anak gadis orang. Sekarang mulut menggembung lucu, rengekan manja yang menghangatkan serta humor-humor sederhana tapi menggelikan anak gadis orang tidak akan bisa dia lihat lagi. Raga itu sudah pergi, kembali pada cangkang yang sesungguhnya.
Ashma kehilangan putrinya. Hanya dua bulan, tapi rasa sayangnya sudah tidak bisa dikendalikan.
Kepalanya jadi mengungkit-ungkit, hari-hari pertama Mumta datang ke rumahnya. Tatapan lugu, kepala yang tidak tahu apa-apa, hanya menunduk saat mereka bersama, tapi bisa tersenyum begitu manis saat didekapnya.
Pertengkaran yang menghibur antara putranya dan Mumta, kadang menjadi pengisi kerinduan yang sesekali hadir untuk sang suami.
Mumta ... .
"Dia memang pulang, bukan ke sini, tapi ke rumah Mumta yang sebenarnya."
Satu tetes air menyatu dengan air di bak cuci piring. Belum setengah hari, tapi rasanya sudah hancur begini. Semangatnya pudar, seperti hari pertama kehilangan suami. Padahal Mumta bukan siapa-siapa, tapi kehadirannya begitu berharga.
"Pulang ke rumah itu?"
Rumah besar yang menyembunyikan kedzaliman?
"Bunda bercanda?"
Ada ketakutan yang menyergap mata elang Elbiyan saat Ashma berbalik dan tampak lemah untuk menjawab. Ketidakberdayaan yang tidak bisa Elbiyan lawan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Al Mumtahanah
Spiritual[Update setiap hari Selasa dan Jum'at] Jika menjadi kakak adalah keharusan untuk mengalah Jika menjadi anak baik artinya merelakan Bisakah dia meminta kesempatan untuk lahir lebih lama? Mumtahanah sudah banyak mengalah selama hidup. Demi menjadi kak...