Bagian 30 :
Apa Ini Namanya Terlambat?
*
*
*
Mumta memandangi gedung oranye yang dipenuhi langkah kecil berseragam merah putih. Berlarian penuh tawa di bawah pohon rindang menyejukkan.
Seketika potongan kecil kenangan bersama anak didik melintas di kepala. Bagaimana rasa kesal, haru, senang, dan kepedulian bercampur jadi di satu di puncak hati. Bagaimana kisah Ambar menguji keberaniannya mengungkap kebenaran, bagaimana ketegaran Bu Arum, istri yang merasa tidak percaya diri karena suami tidak lagi berhasrat pada manusia berlipat sepertinya karena melahirkan generasi laki-laki itu. Lalu, ada Hanum. Rekan sejawat yang sampai sekarang masih mengunci lengan kanannya. Memajukan bibir dan alis berkerut dalam.
"Kalau kamu resign, teman sharing-ku siapa lagi, Ta?" Kini kepalanya bersandar pada bahu Mumta yang menyandang tas.
"Masih banyak guru lain yang bisa kamu ajak cerita. Gak usah lebay." Mumta tertawa kecil. Sharing dengan Hanum tidak melahirkan keputusan, tetapi mengalirkan pahala pada orang lain karena berghibah.
"Lagian aku juga udah dipecat, kan? Sekarang hanya untuk memperjelas pemutusan hubungan kerja." Mumta mengayun-ayun map coklat, Hanum semakin mendalami bakat aktingnya.
"Nggak ada lagi dong temanku ngongkrong di warung bakso."
"Halah, teman nongkrong atau tumpangan traktiran?"
Satu cengiran terpampang di wajah menggemaskan itu. Melahirkan gelengan kecil di kepala Mumta.
"Eh, itu siapa?"
Mumta mengikuti arah telunjuk Hanum mengacung. Ada Elbiyan dan Karin yang saling berdiam diri di depan kap mobil.
"Elbiyan."
"Ya aku tahu itu Elbiyan, yang disebelahnya itu, siapa?"
Mumta melirik lagi. Karin yang makin paripurna dengan pakaian casualnya.
"Karin, teman kecilnya Elbiyan."
Ada nada lemah tersirat di balik suara yang menjawab. Kepercayaan diri Mumta menciut saat berada di dekat perempuan itu.
"Kenapa? Cemburu?"
Mumta langsung menggeleng bersama mata yang membulat.
"Hah? Aku? Nggaklah. Biasa aja."
Tapi, dulu, sebelum terasa keanehan yang seringkali membuat bertanya-tanya.
Mumta menunduk sebentar, mencari ketenangan agar matanya tak bertemu dengan dua manusia itu.
"Jangan bilang kamu resign karena hutangmu sudah lunas, Ta?" Mata Hanum memicing, menyorot mata lain penuh intimidasi.
"Sedang dicicil."
Atau dia yang merasa tidak siap berjauhan lagi dengan Ashma dan ... putranya?
Entahlah. Mumta tidak bisa menemukan jawaban pasti atas peliknya kegundahan yang tiba-tiba melanda benaknya.
"Kamu yakin gak ada rasa sama, tuh, rentenir perhatian?" tanya Hanum memastikan. Sepertinya mustahil ada perempuan yang tidak jatuh hati jika diberikan kelembutan dan perlindungan.
Rasa?
Kesal, sebal, jengkel, marah, dan masih banyak lagi. Tentu ada banyak rasa yang dia rasakan untuk Elbiyan. Namun, jika pertanyaannya mengarah pada konteks yang lebih dari itu, sesuatu yang lebih kompleks, apakah itu jawaban yang sedang Mumta cari?
KAMU SEDANG MEMBACA
Al Mumtahanah
Espiritual[Update setiap hari Selasa dan Jum'at] Jika menjadi kakak adalah keharusan untuk mengalah Jika menjadi anak baik artinya merelakan Bisakah dia meminta kesempatan untuk lahir lebih lama? Mumtahanah sudah banyak mengalah selama hidup. Demi menjadi kak...