Bagian 24 :
Pertemuan Itu ...
*
*
*
Mumta menggeram, tangannya mengepal keras di samping kepala.
"Rasanya aku ingin memecahkan telur busuk di kepala seseorang."
Tangan Keyra naik-turun untuk menenangkan emosi yang membara di kepala Mumta. Namun bibirnya tidak bisa menahan senyum, melihat bagaimana sahabatnya itu bercerita.
"Tenang, tarik napas, buang. Jangan ada kekerasan di antara kalian."
Keyra masih tersenyum saat Mumta mencoba mencari ketenangan. Sudah seminggu lebih kembali, tapi bencinya masih saja berkuasa. Entah bagaimana lagi mengatakannya, kalau marahnya seorang anak pada orang tua tidak berfaedah.
"Kadang aku bingung, kenangan apa yang diberikan orang tua, sedangkan mereka sendiri tidak ingat apapun? Tapi, menuntut anaknya untuk selalu mengerti."
Mumta semakin yakin, jika langkahnya pergi dan menghabiskan hari di luar rumah adalah ketenangan untuknya. Tidak ada lagi figur-figur pemberi luka yang melintas di depan mata.
"Ta,"
"Hm?"
"Sebenarnya kamu ingin kembali, kamu ingin bergabung sama mereka. Berbicara lebih banyak tidak peduli itu penting dibahas atau tidak. Tapi, kamu gak tahu caranya. Ya, kan?"
Mumta memandangi senyum penuh arti Keyra yang menghunus tepat di tengah papan bidik.
Mumta diam, tidak membenarkan juga tidak membantah. Sebab dirinya juga tidak tahu apa yang hatinya inginkan.
Pernah dia mencoba untuk mendekat, bertanya tentang perihal yang sudah ia kantongi jawabannya, tetapi ketika kepalanya mengingat senyum Tantri dan Jauhari di malam pernikahan itu, serta kebahagiaan yang terpancar rasanya menusuk-nusuk telapak kaki untuk melanjutkan langkah.
Ada sudut hati yang menolak dan tidak terima untuk berdamai ... dengan mudah.
Pergolakan batin yang terus mengusik hati yang ingin memaafkan.
"Kamu bingung bagaimana memulainya dan merasa tidak nyaman dengan respon mereka. Ya?"
Rasanya, mencoba untuk masuk ke dalam sekumpulan manusia yang pernah tidak menganggapmu, membuat diri merasa asing. Merasa sendiri padahal berada di tengah kerumunan. Dan akhirnya kenyamanan didapatkan ketika kita sendiri lagi, lagi, dan lagi.
"Boleh aku sarankan sesuatu?"
"Sejak kapan kamu berbicara meminta izin dulu seperti itu. Geli aku, Key."
Keyra tertawa kecil sebentar. Kemudian menatap manik hitam Mumta yang kesepian. Daun yang gugur sudah menumpuk, pohon yang tumbuh di sisi telaga sudah gundul. Hanya menyisakan ranting yang kedinginan karena hujan mengguyur terus-terusan.
Kehangatan.
Sahabatnya rindu itu. Tapi tak tahu mendapatkannya dimana, dengan siapa, dan bagaimana. Mumta terlanjur menganggap rata semua orang yang ada dengan satu label: pengkhianat. Trauma akud yang sudah menginfasi hati hingga tak berani lagi percaya pada siapapun.
Mumta bukan menyukai sendirian. Tapi disana dia mendapatkan rasa aman.
Orang-orang yang menjauh dari kumpulan manusia, orang-orang tertutup yang mereka sebut introvert, bukanlah penyuka penyendiri. Mereka hanya mendapatkan rasa aman dan nyaman ketika sendirian. Namun ketika ada seseorang yang mampu membuat mereka nyaman saat bersama, mereka akan menyukai itu. Mereka akan bergaul dengan orang yang terbatas, dengan orang yang tepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Al Mumtahanah
Spiritual[Update setiap hari Selasa dan Jum'at] Jika menjadi kakak adalah keharusan untuk mengalah Jika menjadi anak baik artinya merelakan Bisakah dia meminta kesempatan untuk lahir lebih lama? Mumtahanah sudah banyak mengalah selama hidup. Demi menjadi kak...