Bagian 23 ~ Kalau Aku Jadi Jahat

806 218 60
                                    

Bagian 23 :


Kalau Aku Jadi Jahat

*

*

*

"Elbiyan?" gumam Mumta pelan. Tubuhnya tersentak dan terkejut ketika Elbiyan mendadak muncul dan membantu perempuan mengandung di depannya untuk berdiri sempurna. Lalu, menusuknya dengan tajam lewat sorot mata tegasnya yang dalam. Persis seperti Jauhari saat sedang naik pitam.

"Kamu nggak apa-apa?"

Hawa langsung melepaskan diri, saat dirasa sudah mampu berdiri sendiri. Jantungnya berdegup cepat, cemas akan kandungannya yang masih muda.

Matanya menatap Mumta sebentar. Merasa tidak menyangka jika kemarahan yang membara di hati perempuan itu akan menuntutnya berbuat keji. Padahal ini calon keponakannya sendiri.

Lalu, tanpa berucap terima kasih, kakinya berjalan menuju kamar. Meledakkan tangis yang menumpahkan kecemasan juga sakit hati.

"Kamu ngapain-"

"Kamu yang ngapain, Mumta?!" potong Elbiyan cepat. Kepalanya sampai menggeleng tidak habis pikir atas tindakan kotor yang hampir saja merenggut nyawa tidak bersalah. "Dia sedang hamil, dan benturan-"

"I know," kata Mumta santai dan mengambil segelas air. Menelan beberapa teguk, dan kembali menatap datar keberadaan Elbiyan di neraka dunia ini.

"Kalau tahu kenapa kamu mendorongnya tadi?" Elbiyan mulai geram. Reaksi santai, tanpa rasa bersalah yang perempuan ini tunjukkan membuatnya naik darah. Beberapa hari tidak berjumpa, sikap Mumta berubah begitu cepat. Sampai membuat Elbiyan menganga saat meletakkan langkah pertama di rumah ini—lagi—dan langsung disuguhkan pemandangan mengejutkan.

Efek patah hati?

Rasanya tidak. Bagi Elbiyan, dengki dan benci sudah mulai ikut campur. Rasa tidak terima membuat Mumta terlihat berbeda.

"Mum," Pandangannya melunak. Menyerang Mumta kembali dengan kemarahan akan menimbulkan keributan bukan penyelesaian. Dan dia kemari bukan untuk itu, tapi untuk menuntaskan ... rasa rindu. "Aku tahu kamu marah, kecewa besar, tapi jangan sampai membuat kamu menjadi jahat. Kalau aku tidak muncul tepat waktu, dan Hawa kehilangan bayinya, apa bedanya kamu sama dia, Mum?"

Mumta mencoba menulikan telinga. Hatinya bergemuruh. Rasanya panas ketika mendengar pembelaan ditujukan untuk musuh.

"Kamu jauh-jauh kemari hanya untuk mengatakan itu?"

Elbiyan membuang napas. Ingin mengatakan rindu, apakah kamu terima? Batin Elbiyan meringis. Sampai mati pun kerinduannya tidak akan tersampaikan kalau Elbiyan berbicara di hati. Namun, keberanian belum genap membungkus nyalinya. Ataukah karena takut ditolak sebab Mumta masih mengharapkan adik iparnya kembali?

"Ngapain kamu ke sini?" tanya Mumta sekali lagi. Ada harap mengembang-ngempis di dada, Elbiyan akan membawanya pergi seperti malam itu.

Dirogohnya saku, melempar nota kecil di meja. Terlihat seperti buku ... .

"Kamu belum melunasi hutangmu. Bahkan belum membayar sepeser pun."

Elbiyan melipat tangan, menuang air layaknya tuan rumah. Dan menonton muka tercengang di depan sambil menahan senyum. Biasanya ketika masih serumah, lima detik kemudian Mumta akan menumpahkan kesal dan lahir sebuah pertengkarang kecil. Tapi, apakah pertengkarana mereka tetap akan berlangsung sekarang?

"Wah, aku gak nyangka ternyata kamu polisi penggila duit. Sampai mengejar-ejar buronan untuk mengembalikan uang bulananmu yang habis karena menolong orang." Mumta berdecak. Dipijitnya kepala yang tidak mengerti, bahkan mengikhlaskan uang pun Elbiyan tidak bisa, lalu apa arti ciumannya hari itu?

Al MumtahanahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang