Bagian 25 :
Aku Tunggu Kamu
*
*
*
Mereka duduk berdampingan. Dengan salah satu menikmati makanan yang tersaji, dan sepasang mata lain mengamati diam-diam.
Elbiyan semakin dibuat tak karuan oleh cinta yang menancap di hatinya. Rindu yang mencuat selalu menuntut untuk melihat Mumta setiap hari. Tiap talu rindu menggerogoti ruang hati hingga membuatnya susah menghirup udara.
Segitunya cinta jika sudah menginvasi manusia.
"Pelan-pelan, nanti tersedak, aku lagi yang salah."
Selembar tisu terasa mengusap sudut bibir Mumta. Sekejap membuatnya terkesiap, Elbiyan terasa berbeda belakangan ini.
Namun dia tidak ingin memperpanjang. Beban pikiran akan semakin bertambah. Dan satu pun belum ada yang terselesaikan.
"Kamu gak makan?"
Melihat piring masih penuh, minum juga tak disentuh, Elbiyan hanya diam, sesekali menghembuskan napas berat. Seperti orang gusar yang kalut.
"Kenapa? Mau?"
"Nggak, nanti aku gendut."
"Gendut, tapi tetap cantik," gumamnya. Elbiyan bersandar pada kursi.
"Apa? Kamu ngomongin aku barusan?" Mumta menyentak. Matanya menyipit tajam saat Elbiyan menggeleng bersama senyum kecil.
"Perempuan gendut itu menggemaskan, kalau dipeluk itu terasa."
Tidak butuh waktu lama, pipi Mumta sudah merona. Dia jadi salah tingkah. Elbiyan tak pernah memuji sebelumnya. Dan sekali memuji, langsung dibuat melayang.
"Kecuali kamu."
Tuh, kan.
Kesenangan Mumta dibanting keras. Berubah kesal setengah mati. Ternyata dia hanya dipermainkan, sebab setelah itu, Elbiyan tertawa keras.
"Pengen dipuji samaku, ya?" tebaknya.
Mumta membereng Elbiyan yang terpingkal. Mengayun kaki kuat hingga mengenai tulang kering laki-laki menyebalkan di depan sana.
"Lagian cepat banget merespon ucapan laki-laki. Sudah tahu pernah dikecewakan, masih saja memasukkan kata-katanya dalam hati." Elbiyan menggeleng.
Mumta tidak mampu berkata. Bibirnya mengatup, sedikit mengerucut.
"Namanya juga perempuan, pasti senang dengan pujian."
Setelah itu, Mumta makan dengan lemas. Kenikmatan menghilang seketika. Kata-kata Elbiyan selalu benar, tapi terlalu kasar. Mengena di hati, tapi menusuk.
"Yakin gak mau di antar? Motormu bisa tinggal di sini. Nanti aku jemput."
Mumta memasang helm, menaiki kereta, dan menyalakan mesin.
"Nggak usah. Nanti bolak-balik, asap kendaraan gak bagus buat bumi."
Mumta menarik kaca hitam pelindung kepala. Sedikit mendongak, menatap Elbiyan yang diam di sampingnya.
"Aku duluan, ya."
Dia memberikan senyum tipis sebelum berlalu. Membelah kota ini bersama sayap lukanya yang mengepak.
Pergi.
Sendiri.
Kadang Mumta mendapatkan ketenangan dari itu. Sesak yang ia terima, terasa berkurang saat keluar dari rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Al Mumtahanah
Spiritual[Update setiap hari Selasa dan Jum'at] Jika menjadi kakak adalah keharusan untuk mengalah Jika menjadi anak baik artinya merelakan Bisakah dia meminta kesempatan untuk lahir lebih lama? Mumtahanah sudah banyak mengalah selama hidup. Demi menjadi kak...