Bagian 12 ~ Sekali Lagi ... Cinta

767 196 36
                                    

Bagian 12

Sekali Lagi ... Cinta

.

.

.

Lima hari terlewati.

Ambar tidak masuk sekolah tanpa keterangan apapun. Biasanya, badan panas dan bibir pucat tidak mempan menahan Ambar agar tidur di rumah dan bersekolah esok hari.

Ambar berjiwa kompetitif, dia takut tersaingi teman sekelas. Meski umurnya baru 7 tahun, pikiran Ambar berjalan begitu bijak. Terkadang pertanyaan yang keluar membuat Mumta tak bisa berkata-kata. Sebab, dia juga masih mempertanyakannya.

Namun, lima hari ini, tidak terlihat sepeda merah muda berhenti di depan kelasnya untuk memberitahu kabar Ambar. Atau mengantar Ambar yang duduk di bangku belakang.

Setelah kejadian itu, Mumta tidak bisa tenang. Walaupun bukan urusannya, tapi Ambar masih tanggung jawab Mumta. Murid-murid adalah amanah yang harus dia jaga.

Selepas jam pulang, di tengah perut yang merindu makanan, Mumta meminta tumpangan Hanum untuk menjenguk salah satu murid cerdas yang dia punya.

Elbiyan mengabari kemungkinan telat untuk menjemput, keterlambatan itu Mumta manfaatkan untuk menghilangkan kekhawatiran pada Ambar.

"Tutup, Ta. Gak ada orang kali."

Mumta berjalan, mengetuk pintu merah yang hanya memahat angin dari luar. Tidak terdengar ada aktivitas di dalam rumah. Mumta mengintip dari jendela yang tertutup tirai putih, kosong.

"Assalamu'alaikum, Bu Asiyah."

Mumta mengetuk lagi. Di bantu Hanum yang menggeser tirai untuk lebih jelas melihat keadaan rumah.

"Sunyi, Ta. Lagi pergi kali. Pulang aja, yuk?"

Pergi kemana?

Ambar pernah bilang, kedua neneknya telah tiada, sanak keluarga jauh di perantauan.

"Ayo, Ta. Lagian kata Rasul, kalau tuan rumah tidak keluar setelah dipanggil tiga kali, kita pulang saja."

Apa mungkin tidur siang? Tapi, ini masih di bawah jam dua belas.

Bunda Ambar memikul banyak jasa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Jadi tidak mungkin dia bersantai. Atau sanak keluarga sedang tertimpa kemalangan sehingga perempuan perkasa itu absen mengantar Ambar sekolah?

"Ayo."

Hanum menarik tangannya. Langkah berat Mumta yang berjalan menuju kereta hitam Hanum tertahan, sebuah cekalan melingkari pinggangnya.

Makhluk kecil bermukena putih mendongak menatapnya dengan bibir berkedut-kedut. Matanya bak waduk yang menahan air agar tidak tumpah.

"Ambar?" Jempol Mumta mengusap pipi Ambar.

"Bunda sakit, Bu Mumta. Tadi pagi ayah memukul banyak nyamuk di tubuh bunda. Padahal Ambar sudah kasih obat oles nyamuk di badan Bunda."

Hanum ikut berlari saat Ambar menarik Mumta untuk masuk ke rumahnya.

Di sana, di satu kamar yang mengisi rumah sederhana ini, seorang perempuan tertidur dengan tubuh penuh memar. Bibirnya bergerak-gerak, sudut bibir terdapat luka yang mengeluarkan sedikit darah.

Mumta mematung di tempat.

Kenapa memukul nyamuk sampai membuat seseorang babak belur?

Dibantu tetangga, Mumta menggotong Asiyah menuju rumah sakit terdekat. Dan bibirnya tercengang saat dokter mulai menjelaskan.

Al MumtahanahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang