Bagian 19 ~ Yang Tak Terlihat

823 221 62
                                    

Bagian 19

Yang Tak Terlihat

*

*

*

Dalam satu tarikan, Mumta merasa terjun. Ada tangan-tangan yang merengkuhnya begitu sampai ke sana. Kehangatan, kasih sayang yang menjalar ... ini bukan rasa sakit yang tadi dibayangkan.

Tidak ada darah yang mengalir deras hingga membuatnya tewas. Yang ada justru perlindungan dan ... pelukan.

Mumta membuka mata. Seonggok tubuh mendekapnya erat seolah tak ingin melepaskan. Sambil berkata-kata yang membuatnya marah.

"Maaf, aku minta maaf."

Mumta memberontak. Memukul, menendang, melakukan apapun agar bisa lepas. Susah payah ia bulatkan tekad untuk mendatangi duluan kematian, susah payah ia menyakinkan diri, bunuh diri adalah cara terbaik untuk lari dari takdir.

"Lepas! Lepasin aku!"

Mumta masih menggeliat untuk melepaskan diri. Dirinya persis seperti ikan yang menggelepar di atas tanah. Bedanya, dia membutuhkan air untuk mati.

"Aku minta maaf, Mum."

"Lepas!"

"Kita bicara baik-baik."

"Nggak mau! Lepas!"

"Mumta!"

Teriakan itu menggelegar, menembus kesadaran Mumta yang kesetanan. Tubuhnya diam, matanya terpaku. Pada bola mata hitam yang memancarkan kepanikan di balik kemarahan.

Elbiyan berusaha mengendalikan amarah yang mendadak hadir. Jemarinya mencengkram erat bahu yang kini terdiam.

"Kalau kamu mati, apa Adam akan kembali? Apa dia akan menyesal? Dan terpuruk seperti kamu ini?" Delikan tajam menusuk manik Mumta yang lemah. "Nggak Mumta! Kematian kamu tidak akan membawa apa-apa untuk dia. Adam tetap memilih Hawa dan memiliki anak dengannya. Sedangkan kamu? Kamu yang akan semakin menderita karena tindakan bodoh ini. Penderitaan kamu ini tidak ada apa-apanya daripada dampak karena bunuh diri. Apalagi itu karena cinta."

Kelopak mata Mumta berkedip-kedip. Mengipas-ngipas air hingga meleleh menjadi tangis. Lalu, dia harus apa? Dia tidak menemukan obat untuk lukanya, sedangkan sakitnya sudah menjalar kemana-mana.

Semua orang yang dijadikan teman, orang-orang yang mengaku ada, perlahan justru terlihat busuknya. Menusuk Mumta yang tidak punya kekuatan. Tidak ada perlawanan sebab dia sendirian. Dia yang lemah semakin lemah. Sang Pencipta pun terasa tidak berbelas kasihan padanya.

Kemana lagi dia harus pergi kecuali ... mati?

Elbiyan yang menyadari perubahan tubuh Mumta yang melunak, menatap perempuan itu lekat-lekat. Matanya menelusuri wajah yang tampak begitu kasihan.

"Aku sendirian, El."

"Ada aku Mum, ada aku di sisi kamu."

Elbiyan teringat akan percakapan kala pertama kali Mumta berani menumpahkan tangis di depannya. Bagaimana isaknya mengisi gendang telinga dengan memilukan, di sana Elbiyan merasa jika itu adalah jalan dari Allah untuknya menunjukkan cinta. Doa-doa yang berharap hati Mumta berbalik dan melihatnya. Namun, sekarang dia malah ikut andil menambah luka pada hidup Mumta. Sampai membuat perempuan itu berpikir, jika penderitaannya akan berakhir di pinggir jembatan itu.

Sayangnya Mumta tidak sadar, jika mendatangi lebih dulu kematian adalah jalan menuju penderitaan yang sebenarnya. Siksa yang tiada habis.

Elbiyan tidak akan membiarkan Mumta memilih jalan itu. Tidak untuk kedua kali.

Al MumtahanahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang