Bagian 17
Hal Mengerikan Dalam Hidup
*
*
*
Hujan turun lagi.
Gelegar petir baru saja terdengar. Kilatnya menyambar mengerikan. Satu per satu tetes air meresap ke tanah.
Mumta merunduk. Menyembunyikan wajah dari kerumunan orang yang berlalu lalang. Memalukan sekali kalau sampai ada yang menyadari terdapat hujan lain yang turut jatuh.
Seketika, Mumta menyesal. Matanya menangkap pemandangan memilukan. Sekali lagi, ia masuk ke dalam belenggu iri dan dengki.
Kenapa harus sekarang?
Batinya menjerit. Tidak mungkin ia meraung untuk menyalurkan nyeri di dada. Apa kata orang-orang nanti?
Perempuan gila.
Mungkin ada kurang-kurangnya.
Stres.
Namun, pertahanan Mumta belum kokoh untuk menahan deburan amarah. Kekuatannya belum pulih benar. Bahkan, untuk menerima ajakan Hanum untuk menemani gadis itu pergi berbelanja pun Mumta setengah hati. Dia kira perjalanannya bersama Hanum bisa membuatnya lari dari ingatan tentang Adam, tapi justru pelarian ini membuatnya mendapat sebongkah luka lain.
Sesak di dadanya semakin mencekam. Semakin kuat meremas semangat Mumta untuk sembuh.
Pemandangan itu seakan mengikat kaki Mumta untuk melangkah, memaku tatapannya pada sesuatu yang sekuat tenaga ingin ia hindari.
Pasangan itu ... .
"Ta, ayo pulang. Aku gak jadi beli bajunya. Harganya buat bulu kuduk berdiri. Lebih menyeramkan dari penampakan makhluk astral. Pemilik toko ini kayaknya mau naik haji, makanya harga barangnya selangit. Astaghfirullah! Untung dompetku belum lihat harganya, kalau nggak bisa koma dia."
Hanum menggeleng. Kadang, diskon bagi rakyat sederhana, berbeda dengan para sultan. Harga hampir sejuta sudah dibilang diskon. Mau berapa lagi normalnya? Seharga ginjal atau jantung? Satu harga baju di toko ini, bisa mendapat belasan baju dari toko lain.
Tamak!
"Ta?"
Hanum menggoyang lengan manusia yang mematung di sampingnya. Dia tahu Mumta begitu menyukai hujan, sejuknya menyelimuti jiwa dengan ketenangan. Tetapi, haruskah sedalam itu menghayatinya?
Dan, apa harus sampai menangis?
"Mumta, aku tahu, ya, kamu itu punya jiwa sosial yang besar. Tapi, gak harus ikut nangis juga di saat bumi menangis. Cukup jangan buang sampah dan menebang pohon sembarangan, itu sudah cukup."
Mumta mengusap pipi. Simpulan senyum terpaksa diberikan sebagai balasan atas kepedulian Hanum kepadanya.
Tapi, kali ini, lawakan kamu gak mempan untuk hati yang tersakiti, Num.
"Maaf, Num. Aku gak bisa temani kamu belanja. Ada seseorang yang harus aku temui."
"Sekarang?" tanya Hanum sambil menatap jalanan yang masih dihujani air dengan lebat.
"Nggak apa-apa, cuman diseberang sana, kok. Aku duluan, ya, assalamu'alaikum."
Tanpa menunggu ucapan Hanum selesai, Mumta menembus hujan yang langsung meresap ke kulit. Langkahnya maju mundur karena kendaraan yang melintas, hingga saat sampai di pintu kafe, badannya telah kuyup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Al Mumtahanah
Spiritual[Update setiap hari Selasa dan Jum'at] Jika menjadi kakak adalah keharusan untuk mengalah Jika menjadi anak baik artinya merelakan Bisakah dia meminta kesempatan untuk lahir lebih lama? Mumtahanah sudah banyak mengalah selama hidup. Demi menjadi kak...