Bagian 26 :
Peduli Karena Uang?
*
*
*
Sudah semalaman terlewati, tapi suara-suara menggelitik seolah tak mau berhenti menggodanya.
Itu hanya teleponan biasa.
Batin Mumta bersikeras. Tidak ada yang lebih, apalagi istimewa. Dia hanya diminta untuk meminta maaf, tidak ada yang lain. Namun atmosfer malam itu, suasana yang mereka ciptakan, pembicaraan yang dihadirkan, kenapa terasa menghanyutkan?
Demi mengalihkan pikiran, agar tidak terus-terusan jatuh pada keanehan kemarin malam, meski sesekali senyum masih suka lahir ketika ingatannya curi-curi pandang pada kejadian tempo hari, Mumta terus melangkahkan kaki di pusat belanja. Melihat-lihat, kali saja bisa menarik perhatiannya dari kejadian tak biasa yang Elbiyan sajikan.
Mungkin lebih tepatnya, Mumta tidak mau terjun ke dalam pemikiran yang berlebihan.
Sepuluh menit berjelajah, telapak Mumta memasuki toko busana. Hanya ingin cuci mata, sebab keuangannya tidak stabil seperti dulu lagi. Namun, gamis-gamis yang dipajang cepat sekali mencuri minat. Menggoyahkan niat awal, bisa habis saldonya jika menuruti nafsu.
"Yang ini gak cocok, buat kulit kamu jadi gelap."
"Pulang aja, kak. Baju aku sudah banyak."
"Baju kamu yang banyak itu sudah banyak tambalnya. Kita boleh hemat, tapi jangan pelit sama diri sendiri."
Mumta tersenyum.
Persaudaraan yang indah.
Seorang kakak yang sempurna melayani adik yang memiliki keistimewaan di matanya (disabilitas fisik) dengan baik. Sabar, tanpa ada rasa risih ketika berpasang-pasang mata tertuju pada mereka.
Kenapa Mumta tidak bisa seperti itu padahal Hawa perempuan sempurna?
Ah, mungkin kesempurnaan itu yang membuat Adam berpaling juga alasan posisinya terbelakangi.
Sampai suara tubuh yang jatuh mengembalikan kesadaran Mumta. Seorang pria tinggi berpenampilan formal bersikap tidak peduli meski sudah membuat seseorang tersungkur di lantai. Tatapan marah justru keluar dari wajah sangar itu.
"Sudah tahu tak bisa melihat, masih saja keluyuran."
Pengunjung lain memajukan tubuh. Tidak terima.
"Sudah tahu punya mata yang sehat, kenapa masih menabrak orang yang tidak bisa melihat?" Mumta menyilangkan tangan.
Lelaki tegap itu berbalik. Menatap perempuan yang memancing emosi karena kalimat barusan. Mumta berusaha mengeluarkan sisi sangarnya.
"Kalau menabrak seseorang, sudah sepantasnya meminta maaf. Aturan semacam itu saja Anda tidak tahu, pak?"
Lelaki itu tertawa renyah. Maju beberapa langkah, menatap Mumta yang hanya sebatas dadanya. Di belakangnya berdiri wanita cantik, mungkin seusia Mumta atau lebih muda beberapa tahun, melihat dengan cemas perdebatan di keramaian.
"Orang seperti itu hanya menjadi sampah masyarakat, lebih baik diam di rumah kalau tidak mampu meraba sekitar."
"Justru karena Anda orang normal, kalau melihat orang dengan keterbatasan fisik, harus lebih berhati-hati. Jika hukum itu saja belum Anda ketahui, lebih baik belajar lagi sebelum beraktivitas. Dasar orang tidak tahu norma!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Al Mumtahanah
Spiritual[Update setiap hari Selasa dan Jum'at] Jika menjadi kakak adalah keharusan untuk mengalah Jika menjadi anak baik artinya merelakan Bisakah dia meminta kesempatan untuk lahir lebih lama? Mumtahanah sudah banyak mengalah selama hidup. Demi menjadi kak...