Bagian 11 ~ Mutiara Yang Terluka

807 209 41
                                    

Bagian 11

Mutiara Yang Terluka

.

.

.

Dulu, seharusnya Mumta berpikir keras sebelum bahagia menerima tawaran hidup dari laki-laki itu.

Dulu, seharusnya Mumta menyangkal kalau hidup belum tentu bahagia bersama orang yang dicinta. Seharusnya, pengalaman orang-orang yang gagal dalam rumah tangga bisa ia jadikan pertimbangan, bahwa waktu bisa menjadikan cinta kadaluwarsa.

Bagaimana cinta yang tumbuh subur, layu karena tidak pandai memilih pupuk yang tepat. Bahkan, cinta yang awalnya berikrar untuk ada saat susah maupun senang, tetap bersama di tengah gonjang-ganjing kehidupan, cinta yang dulu bersemi indah, bisa berubah menjadi tali permusuhan kuat yang berkepanjangan.

Tidak ada yang bisa menjamin cinta tetap kekal bersama satu orang. Tidak juga pernikahan.

Sekarang menyesali semuanya mungkin sudah terlambat. Atau mungkin dari awal seharusnya Mumta tidak menaruh rasa apapun pada manusia? Bukankah manusia mati sendiri dan hidup sendiri? Atau prinsip itu hanya berlaku pada hidup Mumta?

"Kamu harus lawan kecewanya, Mumta. Hati perempuan itu memang lembut, tapi bukan untuk direndahkan."

Mumta sudah mencoba. Mengeraskan hati untuk laki-laki. Namun, hatinya terlalu merindukan kehangatan seseorang, menginginkan sandaran dalam rupa bahu bidang. Dia mulai lelah sendiri, pundaknya tidak setegar yang dikira, Mumta juga butuh seseorang dalam hidupnya.

"Cinta berhasil membidik dalam kelemahanku, Key. Aku gak bisa apa-apa sekarang."

Tangis kembali luruh. Membuat siapa saja yang mendengar ikut meneteskan air mata. Sosok orang tua yang katanya penyemangat terdepan, kini menjadi penyebab Mumta tidak mengenali emosi sendiri.

Mumta banyak mengunci kata-kata ketika tidak ada orang yang bicara. Sampai dijauhi teman karena dikira anti sosial. Sedangkan kebenarannya, Mumta manusia yang krusial akan sosial.

"Ya dicabut, dong, Ta, anak panahnya. Kamu kira papan bidik gak menjerit kesakitan saat dipanah dan dicabut berkali-kali dari anak panah?"

Oma juga pernah bilang, jika semua makhluk yang hidup pasti bisa merasakan sakit. Namun sayangnya, sampai sekarang belum pernah Mumta dengar ada tumbuhan yang menangis.

"Mumtahanah, dengar. Menjadi jembatan untuk seseorang itu memang baik, tapi gak semua keadaan seperti itu. Kamu itu seperti bukit Safa dan Marwah yang berdiri di antara Adam dan Hawa. Kamu hanya sejarah yang mencatat kisah mereka. Sebuah jembatan yang merekam jejak pertemuan mereka. Jadi berhenti berharap lebih."

Setetes air jatuh di paha Mumta.

"Kamu cerdas, Mumta, kamu bijak. Banyak orang mengakui itu. Terapkan kemampuan itu dalam hidup kamu."

Sayangnya, tidak semua orang bisa mengerti dirinya seperti dia mengerti orang lain. Termasuk orang-orang yang mengalirkan darah mereka di tubuh Mumta.

Dua orang yang disebut orang tua.

*****

Mumta kira, melihat orang yang di sayang tersenyum akan mengembangkan bahagia di atas permadani hidupnya. Namun, kebahagiaan Adam kini menjadi alasan terkuatnya mengurung rapat-rapat harapan untuk kembali menata diri. Memenjarakan kembali spekulasi bahwa ada bahagia yang dibungkus di balik namanya.

Al MumtahanahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang