Bagian 14
Kesalahan Jahanam
.
.
.
Ini sudah berhari-hari.
Sejak kedatangan Adam, hidup Mumta kembali limbung. Hatinya terasa kosong, sementara air mata terus berjatuhan. Meski Mumta berusaha untuk tegar, cinta yang sudah disakiti nyatanya semakin mengembang. Mekar, melebarkan kelopak bunga yang tergores. Tidak peduli sakitnya seperti apa, cinta tetap tumbuh dengan kejam. Seolah tidak peduli dengan tubuhnya yang semakin ringkih untuk bernapas.
Terbesit niat, Mumta ingin melabrak Adam. Mendatangi tempat tinggal nenek Adam, memaki, menampar, melakukan segala hal yang bisa membuat lukanya padam. Karena Mumta yakin, Hawa pasti memilih bertahan tinggal di sana untuk tetap menemuinya dan membeberkan penjelasan yang hanya rentetan omong kosong di telinga Mumta.
Namun, percakapan singkat di tengah malam itu, menjadi pertimbangan Mumta untuk melakukan aksinya.
"Labrak?"
Mumta mengangguk di tempat. Tampak semangat begitu kuat di dalam dirinya.
Keyra di sebrang sana, menghela napas.
"Kamu tahu, melabrak seseorang itu memang bentuk keberanian dan pembelaan diri, tapi itu cara yang kurang elegan."
Bahkan, untuk membela diri sekalipun, masih ada status elegan atau tidak?
"Lalu cara yang elegannya?" tanya Mumta tak sabar.
"Bahagia tanpa dia," tutur seseorang di sebrang dengan gampang.
Bagaimana Mumta bisa bahagia, jika bahagianya adalah penyebab dia terpuruk?
"Ingat kata Mario Teguh, Ta. Karena kita orang beradab, marahnya harus anggun dan elegan. Jangan meluapkan amarah seperti orang jahiliah."
"Banyak orang yang kurang menghormati dirinya sendiri karena rasa marahnya pada orang lain. Mereka terlalu liar melampiaskan amarah karena disemangati oleh kesombongan. Hingga tanpa disadari itu mencoreng kehormatan diri sendiri. Karena orang yang sombong merasa bahwa dia paling berkuasa daripada orang yang dimarahi. Ingat, Ta! Hanya orang sombong yang memarahi dengan kasar."
"Jangan sampai kemarahan kamu, mencoreng citra baik kamu di mata orang lain. Gak harus pakai kata-kata kasar apalagi melabrak untuk melampiaskan kekecewaan pada orang lain. Kadang kala, justru bahasa yang lembut adalah tamparan yang paling menusuk di hati."
Mumta diam sejenak. Memberikan jeda untuk hati meresapi perkataan Keyra. Memikirkan baik-baik tindakan pembelaan hati yang hendak dilakukan.
Jujur, Mumta sering dibilang baik oleh para wali murid. Guru pengertian, lembut cara mengajarnya, mengayomi penuh perhatian. Lantas, bagaimana jika dia memaki Adam dan itu malah membuatnya terlihat buruk di mata orang lain? Sedangkan dia pihak yang dirugikan?
Tapi, rasanya ketenangan akan sampai di benak ketika berhasil mencaci Adam di depan keluarganya. Mengatakan betapa buruk anggota keluarga mereka yang dikenal akhlakul karimah. Hingga berakhir penyesalan, dan Adam bersujud untuk meminta maaf.
Melihat Adam hancur bersama Hawa, itulah kemenangan bagi Mumta. Melihat mereka terseok-seok menelan karma, hidup serba kesusahan, dan tiap hari dipenuhi pertengkaran, rasanya bentuk kelegaan yang belum pernah Mumta dapatkan.
Lihat, di saat genting seperti ini, nurani Mumta masih tetap bermain. Selalu mengungkit-ungkit baik-buruk perbuatan seolah lupa keburukan apa yang telah diperbuat orang lain kepadanya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Al Mumtahanah
Spiritual[Update setiap hari Selasa dan Jum'at] Jika menjadi kakak adalah keharusan untuk mengalah Jika menjadi anak baik artinya merelakan Bisakah dia meminta kesempatan untuk lahir lebih lama? Mumtahanah sudah banyak mengalah selama hidup. Demi menjadi kak...