Bagian 3 ~ Kain Abu dan Hujan Malam Itu

1K 226 25
                                    

Bagian 3

Kain Abu dan Hujan Malam Itu

*****

"Mau kemana, kak?"

Mumta tak menjawab, segera memakai sepatunya.

"Sudah malam, kak."

"Ck, bising kamu," ujarnya sinis.

Mumta menenteng kertas di gendongannya. Merasa sudah siap, ia segera melangkah menuju pintu. Namun, sebuah suara kembali menghalangi.

"Mumta sudah jam segini, mau kemana?"

Kakak beradik itu menoleh. Perempuan beda generasi datang sambil mengucir rambut. Mendekat dan memperhatikannya.

"Mengurusi klien-"

"Malam-malam begini?" potong Tantri, mamanya cepat. Jam dinding sudah menunjukkan pukul sembilan lewat, seharusnya ini jadwal untuk tidur. Namun, putrinya begitu memaksa diri mengabdikan jasa di profesinya.

"Bentar, ma. Assalamau'alaikum."

"Eh, tap-"

Mumta menutup pintu tanpa mendengarkan perkataan Tantri. Dirinya melajukan mobil di tengah cuaca malam yang menusuk dingin. Angin mendadak bertiup kencang, mengakibatkan malam begitu mengerikan. Mumta terus beristighfar saat diperjalanan pulang dan pergi. Alam seperti mengamuk tanpa sebab. Daun-daun berserakan di udara yang penuh debu dan pasir.

Drrtt, drrtt.

"Halo, Key?"

Mumta menjepit ponsel di telinga menggunakan pundak.

"Ngapain, sih, telpon malam-malam? Sudah punya gandengan juga. Iya, tapikan aku belum, masih otw. Iya, bawel. Ini mau pulang. Cuman, cuacanya lagi gak enak. Debunya menghalangi pandangan. Iya, ngamuk kayak perasaanku yang campur aduk karena mau nikah. Iya, tahu, Key. Kapan sih kamu gak pernah goda aku? Untung tuh si Lubis gak cemburuan."

Mumta tertawa karena guyonan yang dia buat dengan Keyra. Otak error dan mesum temannya itu selalu berhasil menerbitkan senyum di wajahnya. Goda-godaan Keyra yang mengisi hari-hari Mumta saat dia diabaikan keluarga. Kehadiran Keyra di hidupnya menjadi sinyal kalau Mumta tidak benar-benar sendirian.

Entah karena terlalu asik atau debu yang menutupi pandangan, samar-samar Mumta melihat setitik cahaya di depan sana. Datang dari arah yang berlawanan dan seketika membuat biji kecoklatan di tengah-tengah retina membulat.

Sebuah sepeda motor melaju ke arahnya. Padahal Mumta yakin, roda mobilnya berjalan di jalur yang tepat. Untuk menghindari tubrukan yang saling merugikan, Mumta membanting stir ke kanan diikuti kakinya yang menginjak rem kuat-kuat. Klakson berbunyi nyaring membuat pengendara melaju oleng.

Sayangnya, hujan yang turun deras membuat roda mobil tergelincir. Depan mobil Mumta menabrak pinggir jembatan dan terjung ke sungai. Mumta sempat merasakan gravitasi begitu kuat menariknya ke dasar bumi sebelum akhirnya kepalanya terasa pening bersama dunia yang menghitam.

*****

"Marun!" seru seorang polisi sambil mengejar pria berambut panjang yang berlari kencang di depannya. Beberapa orang juga mengerahkan tenaga untuk membekuk tersangka yang sudah menjadi buronan.

"Hukuman kamu akan dikurangi kalau menyerah sekarang juga!" Napasnya tersengal mengejar preman yang seperti tidak ada lelahnya.

Peluru telah ditembakkan ke udara sebagai tanda peringatan. Namun, langkah kaki buronan yang susah payah ditemukan tetap melaju kencang ke sembarang arah demi kabur dari aparat keamanan.

Al MumtahanahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang